By. Hendrikus Adam Barage Repo
Ingar Silat merupakan salah satu suku Dayak yang ada di Bumi Khatulistiwa, khususnya di daerah pedalaman Kalimantan Barat tepatnya di Kampung Lubuk Besar, Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang. Seperti masyarakat Dayak pada umumnya, sebagian besar penduduknya adalah petani tradisional yang menggantungkan hidup dan kehidupannya pada kekayaan sumber daya alam disekitarnya. Bertani (berladang) dan menoreh karet adalah sumber aktivitas utama yang digeluti warga Inggar Silat. Dengan keasliannya, nilai-nilai adat istiadat tradisional warisan nenek moyang seperti adat bertani, Nampuk Bukit Imbun dan berbagai kesenianpun masih dipelihara hingga kini. Pun demikian dengan ritual menyambut tamu dari luar yang akan bertandang kesana, prosesi adat penyambutan bisanya menjadi suguhan yang menyenangkan. Seperti apa prosesi Ritual Penyambutan Tamu ala warga Dayak Inggar Silat khususnya di Kampung Lubuk Besar?
Bak pepatah, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Dimana kita berada, disitu adat istiadat, nilai dan norma-norma harus kita patuhi. Fenomena ini sangat kentara dan tetap hidup pada masyarakat Ingar Silat. Adat menyambut tamu bagi warga Ingar Silat biasanya dimulai dengan persiapan-persiapan yang diawali dengan musyawarah kampung untuk mufakat, selanjutnya diteruskan dengan aktivitas hasil musyawarah seperti pembuatan gapura (pintu gerbang masuk), persiapan tarian adat berikut alat musiknya, petugas penyambutan, serta peraga adat penyambutan yang harus disiapkan.
Dalam tradisi Dayak Inggar Silat, tamu yang dimaksud biasanya orang-orang penting, orang-orang yang datang dari luar komunitasnya/diluar kampungnya, yang diyakini dapat memberi kontribusi berupa pandangan, perhatian maupun pemikirannya untuk kemajuan warga dan kampungnya. Pada awal prosesi ini sebelum sampai dikampung, biasanya tamu yang akan datang di tunggu dijalan depan sebelum kampung dengan maksud menjemput tamu. Ini biasanya dilakukan oleh seorang tetua adat lengkap dengan pakaian adat dengan satu batang sumpit dengan sebilah mata tumbak dibagian ujungnya dan (senjata tradisional) terhunus di pinggangnya. Sementara tiga buah gong yang diambin tiga orang warga siap ditabuh.
Pada saat tamu tiba, tetua adat lantas memberi aba-aba kepada ketiga penabuh gong untuk memulai prosesi. Selanjutnya dengan diringi suara gong yang bersahut-sahutan, biasanya sesekali tetua adatpun mulai melambaikan tangannya yang lembut gemulai dalam bentuk gerak tari tradisional. Setelah tetua puas menari, sambil diiringi gong, tamu beserta rombongan kemudian dipimpin tetua adat menuju pintu gerbang kampung yang dibuat sedemikian rupa, sementara dibarisan sebelah kiri dan kanan warga kampung siap dengan senyum penuh antusias menyambut kedatangan tamu.
Sesampai digerbang, tetua yang sedari tadi mengawal rombongan tamu dengan isyarat tertentu kemudian menyerahkan prosesi selanjutnya pada tetua adat lainnya yang memang telah menunggu. Persis di antara pintu gerbang, biasanya terhampar alas tikar dengan perangkat berupa satu buah dulang yang didalamnya berisi sebutir telur ayam kampung, setumpuk tanah kuning, sebongkah batu ukuran kecil, besi, beras dan air dalam wadah. Sang tetua adat biasanya mulai memercikkan beras suci (istilah tradisional bagi warga setempat=beras putih) kepada tamu yang datang sambil ber-memang (membacakan ayat-ayat adat). Sementara sebatang ringatangan (dari tebu) terpasang melintang antara sisi kiri dan sisi kanan gerbang. Oleh tamu (pimpinan rombongan), setelah mendapat aba-aba dari tetua adat setempat, tebu yang melintang tadi lantas dipotong (nungkung) dengan sebilah mandau. Saat diminta menginjakkan kakinya di atas dulang yang berisikan tanah, batu, telur dan lainnya, tamu disaat bersamaan juga diminta menengadah kelangit sambil minum air yang disuguhkan. Usai prosesi ini, tamu dengan diiringi penari dan iringan musik tradisional (gong, keledi’) diperbolehkan melanjutkan perjalanan menuju tempat peristirahatan yang dikhususkan oleh warga, dimana empat orang penyambut tamu dengan atribut adat siap menanti. Sebelum memasuki tempat peristirahatan, biasanya pula disuguhkan dengan atraksi seperti pencak silat dan kesenian lainnya.
Dibalik peraga adat tersebut, ternyata memilik makna mendalam. Hal ini biasanya terungkap dalam ayat-ayat adat pada prosesi penyambutan tamu seperti dituturkan Kara (98); ”tebu kayu manis, tamu ati manis kami semua ati manis-dulang tapang dibisi’ lembia (didalam tapang ada penguasanya/yang menciptakannya)-teguh batu teguh kepala (kuat batu kuat kepala)-tebal tanah tebal belala’ (tebal tanah tebal rezeki)-panjang ai’, panjang nyawa (sepanjang sungai, panjang umur)-tinggi langit, tinggi berita (setinggi langit, tinggi pula kabar baik yang tersebar)-bujur suti’ bujur semua, hati putih berdarah putih, hati bersih berdarah bersih (satu baik, maka semuanya akan baik yang diikuti pikiran dan hati yang bersih pula).”
Menurut Marta (42 th), Ketua adat Lubuk Besar didampingi Pikai Nawan (62 th), Panglima Tani Inggar Silat, dengan dipotongnya tebu bermakna tidak ada lagi rintangan dan jalan telah terbuka mulus, terlebih dengan tebu yang identik dengan rasanya yang manis, maka tamu yang datang diharapkan berhati manis demikianpula warga sebaliknya juga berhati manis dengan kedatangan tamu. Selanjutnya, tikar bermakna kesederhanaan dan kesediaan warga untuk menerima dengan lapang dada dan memberi yang terbaik, telur bermakna supaya tamu yang datang berpikir bulat dan positif, juga bermakna persatuan. Beras suci/beras putih bermakna hati yang bersih, besi bermakna pembuka jalan, penguat semangat, air melambangkan ketenangan dalam perjalanan/panjang umur, dulang bermakna agar orang-orang yang datang sehati sejiwa bersatu, batu dan tanah melambangkan suatu kesatuan sebagai simbol yang menunjukkan keagungan dan kehadiran sang pencipta alam semesta beserta isinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar