hidup itu anugerah, sedangkan gagasan adalah buah dari pada anugerah itu, yang layak diabadikan melalui ukiran kata demi kata yang sedianya dapat menjadi inspirasi.
Rabu, 22 Agustus 2007
Ekspansi Sawit dan Hak Warga
by. HENDRIKUS ADAM BR
Maraknya persoalan seputar rencana pemerintah (Provinsi/Kabupaten) untuk menyulap beberapa daerah (hutan dan lahan) dinegeri ini khususnya di Bumi Khatulistiwa dengan mengalihfungsikannya menjadi perkebunan kelapa sawit yang diyakini dapat mensejahterakan rakyat oleh pihak eksekutif kian hangat. Bahkan upaya penentangan (baca;perlawanan) oleh pemerintah atas upaya penggagalan (penolakan) mengenai rencana ekspansi sawit yang akan dilakukan secara besar-besaran, telah disiapkan jauh hari dengan upaya rencana penggalangan dana seperti yang pernah diberitakan dalam salah satu media di Kalbar.
Kalau beberapa waktu lalu setidaknya ketiga hal berikut; peningkatan kesejahteraan masyarakat, pembukaan lapangan kerja dan pembukaan daerah terpencil (terisolasi) dijadikan alasan utama bagi investor bersama pemerintah untuk meyakinkan berbagai pihak atas rencana pembukaan bidang perkebunan sawit terkesan gagal, maka isu hangat berikutmya yang kembali didengungkan adalah bagaimana pemerintah saat ini, juga kalangan akademisi melalui media di Kalbar (Pontianak Post, 3 April 2007) berupaya meyakinkan publik dengan wacana ”pengkambinghitaman” adanya keterlibatan pihak ketiga (luar negeri) yang turut bermain dibalik aksi penolakan yang kini marak digencarkan kalangan yang merasa kontra atas rencana kebijakan tersebut. Propaganda juga muncul ketika oleh berbagai kalangan, terutama oleh beberapa kalangan akademisi bahwa dikatakan kebun sawit tidak merusak lingkungan (ramah lingkungan).
Persoalan ini tentunya menjadi begitu kompleks, ketika hingga saat ini belum ditemukan jalan tengah sebagai solusi atas polemik yang mewacana. Beberapa dari berbagai eleman masyarakat sebagai warga negara yang merasa kontra atas rencana ekspansi kebun sawit, tetap bulat pada pendiriannya. Upaya ini diwujudkan dengan serangkaian tindakan “perlawanan” yang muncul pada warga dibeberapa daerah, seperti di Sebunga Kabupaten Sambas beberapa waktu lalu. Selanjutnya di Sanggau telah dibentuk Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) sebagai media perjuangan bagi petani dalam merebut hak-haknya. Selanjutnya pada moment peringatan Hari Lingkungan Hidup (5 Juni) lalu, warga pecinta lingkungan hidup dari puluhan lembaga yang menggabungkan diri dalam panitia bersama Hari Lingkungan Hidup mendesak pemerintah untuk serius atas permasalahan lingkungan, terutama menyikapi permasalahan warga terkait persoalan sawit yang dinilai banyak menimbulkan masalah dimasyarakat. Hal ini sangat mendesak, sehingga pada akhirnya perlu mendapat pemikiran serius dan objektifitas. Dalam memberikan penilaian tentunya bukan saja hanya atas pertimbangan teroritis, namun bagaimana realitas lapangan yang terjadi dimasyarakat juga mutlak diperhatikan, karena kondisi teoritis dan kenyataan lapangan tidak jarang berlawanan arah dengan yang sesungguhnya.
Perpaduan antara kondisi ril dan kajian secara teoritis adalah langkah strategis yang penting dilakukan karena kini bukan lagi saatnya untuk saling menyelahkan dan mencari pembenaran masing-masing, tetapi bagaimana masing-masing pihak terutama pemerintah untuk menahan diri dan tidak memaksakan kehendak atas hak warganya sebagai bagian dari elemen pembentuk negara. Langkah reflektif dalam upaya rekonsiliasi diri sebelum memutuskan kebijakan yang selama ini dianggap kurang populis oleh para stakeholders pengambil kebijakan menjadi penting dilakukan.
Eksekutif sebagai unsur yang diberikan mandat untuk menyelenggarakan tata pemerintahan dalam menentukan masa depan warga dan daerah yang dipimpinnya memiliki andil besar. Namun demikian, pemerintah pula dituntut untuk mau mendengarkan aspirasi rakyatnya melalui legislatif yang ada. Disisi lain sebagai kewajiban warga negara, setiap orang juga diharapkan mau mendukung dan menghormati segala kebijakan yang baik untuk kepentingan bersama. Pendek kata, pemerintah sebagai eksekutif bersama legislatif, masyarakat, kalangan elit lainnya adalah bagian dari komponen pembentuk negara yang semsetinya dapat bersinergis dan saling merangkul dalam megupayakan pembangunan dalam rangka mencapai cita-cita bersama.
Kondisi ini adalah sebuah gambaran sekaligus menjadi catatan kelam untuk direfleksikan bersama, walaupun harus diakui mimpi tersebut hingga kini masih sebatas wacana belaka. Pemerintah dengan gayanya, merasa yakin bahwa apa yang diprogramkannya sangat benar sehingga seakan menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar. Demikian juga para akademisi, dengan disiplin ilmunya hasl abstraksi pengalaman penelitian misalnya mengatakan kebun sawit sangat baik, tidak merusak lingkungan dan lain sebagainya. Warga masyarakat dengan kepolosannya pula tidak mau kalah. Karena merasa telah menerima ”kemalangan” sebagai buah dari pengalaman yang pernah dilihat dan dialaminya, harus bersaksi seadanya. Setiap stakeholders diatas menyampaikan penilaian dengan sudut pandang yang berbeda-beda adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
Harus disadari warga masyarakat yang merasakan langsung dampak negatif maupun postif dengan keberadaan perkebunan kelapa sawit tentunya akan mengatakan apa adanya. Karena tentunya tidak ada keuntungannya menyembunyikan kemalangan yang pernah dirasakan. Demikian juga para akademisi yang menganggap dirinya telah makan asam garam soal pengetahuan perkebunan, juga akan mengatakan apa adanya sesuai versi mereka sehingga yang terlihat tetap saja kontradiksi antara dua belah pihak pro dan kontra.
Namun sebuah permenungan mungkin bisa dipertanyakan dalam hubungannya dengan pihak-pihak dimaksud. Komentar akademisi dari hasil penelitian misalnya; siapa yang berani menjamin kebenaran bahwa apa yang dihasilkan dalam suatu hasil penelitian mengenai kebun sawit yang menilai selalu positif misalnya, adalah penuh kemurnian? Letaknya tentu pada kejujuran atau objektifitas sang peneiti. Namun dengan persoalan hangat seperti ini, harus disadari pula hasil studi mengenai sawit akan menjadi laku dipasaran terlebih bagi orang-orang yang mengerti manfaatnya untuk diwacanakan bagi publik. Sementara masyarakat sepertinya jelas tidak akan mampu ”membeli” hasil peneltian tersebut selain hanya mungkin “mengcopy” saja.
Melihat kondisi ini, maka persoalannya bukan lagi pada tataran bagaimana upaya egoisme masing-masing dipertahankan. Akan tetapi, pemerintah mutlak sadar dan merefleksikan bahwa sesungguhnya mereka membuat berbagai kebijakan termasuk program pengembangan kebun kelapa sawit untuk siapa sih? Sungguhkah untuk rakyat? Disamping itu, pemerintah juga harus sadar bahwa mereka diberi mandat untuk benar-benar membawa lingkungannya beserta rakyatnya kearah kebaikan dan kesejahteraan dan bukan malah menjerumuskannya. Dan yang terpenting, pemerntah juga harus menyadari bahwa masyarakat sebagai warga negara mempunyai hak yang harus di hormati.
Akhirnya, bila pemerintah sangat menyadari bahwa apa yang mereka buat sungguh-sungguh untuk warganya, maka penulis sangat yakin tentunya hak-hak warganya juga akan diakomodir dengan baik. Namun, akan menjadi lain persoalannya, bila apa yang mereka buat termasuk rencana pengembangan perkebunan sawit dilakukan tanpa mempertimbangkan (mengabaikan) aspirasi warganya. Pertimbangan peningkatan pendapatan daerah dan ambisi untuk mendapat predikat penghasil minyak sawit terbesar dunia semestinya tidak menjadi alasan bilamana warga tidak menginginkan demikian.
Pentingnya hak apapun sebagai warga negara semsetinya diakui pemerintah, termasuk hak warga untuk menolak dan atau menerima ekspansi perkebunan sawit di Kalbar misalnya. Karena pemerintah dan warganya adalah bagian yang tidak terpisahkan, maka saatnya pemerintah mau mendengarkan, menerima kritikan dengan lapang dada, melihat kondisi rill warganya. dan tidak berkutat pada landasan teori belaka serta tidak menjadikannya suatu kemutlakan. Karena bila tidak diakomodir dan tidak ada lagi pihak yang bisa diandalkan oleh rakyat, maka salah satu alternatif bagi rakyat adalah bersatu, bersatu dan bersatu.
Karena itu saatnya kita bersikap “Jangan biarkan Bumi ini menangis dan jangan biarkan masyarakat menjerit”. Jangan sampai timbul lagi nada sinis bagi warga kita yang berakibat memudarkan rasa nasionalisme sebagai warga negara. Selamat berjuang wahai rakyat, selamat berbuat untuk rakyat!!!
Penulis Sekretaris Jenderal PMKRI Santo Thomas More Cabang Pontianak 06/07,
Ketua GEMPA FISIP Untan 2004/2005
Anggota Sahabat Lingkungan Kalimantan Barat (SALAK)
Anggota Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar