Warga di Desa Korek, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya tampak berjaga saat membantu melakukan pembersihan ladang warga lainnya dengan cara bakar. #byHendrikusAdam2016 |
Oleh Hendrikus Adam[1]
MEMBUKA ladang dengan cara
membakar adalah perbuatan tidak bijaksana. Demikian kalimat pada plang berlogo
Departemen Kehutanan yang diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Palung Seksi
Konservasi Wilayah I Sukadana yang terpasang di jalan Siduk – Nanga Tayap penulis
jumpai beberapa waktu lalu. Dari bahasa yang digunakan, kalimat ini tentu
sangat menggelitik. Seolah membantah tentang kearifan lokal yang selama ini diyakini
menyertai kegiatan berladang oleh masyarakat. Kalimat dimaksud juga bahkan
terkesan menapik pengakuan UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
terkait dengan pengakuan tentang kearifan lokal mengelola lahan pertanian oleh
warga dengan batasan tertentu.
Bila dicermati, sejumlah pesan
bernada “sinis” terhadap kegiatan berladang selama ini juga tergambar dari
sejumlah respon yang dilakukan secara langsung oleh aparatur di lapangan. Upaya
sosialisasi larangan membakar, tindakan refresif dengan mendatangi dan bahkan
menangkap petani hingga menjatuhkan bom air dengan gagahnya untuk memadamkan
api saat peladang membersihkan ladangnya.
Tentu saja, tindakan aparat
dengan situasi yang terjadi bukan secara tiba-tiba. Ada sejumlah pra kondisi
sebelumnya, termasuk berkenaan dengan persoalan pemahaman tentang petaka asap,
proses berladang dan konstitusi yang melindungi warga pengolah lahan pertanian
dengan kearifannya belum sungguh dipahami lebih baik atau sedang “gagal faham”?
Ataukah sejumlah pihak itu sudah memiliki pemahaman permanen tentang kegiatan
berladang dengan cara bakar sebagai perbuatan tidak bijaksana sebagaimana papan
plang buatan Balai Taman Nasional Gunung Palung?
Kronik Asap hingga
Larangan
Dokumen intruksi boleh bakar lahan di perkebunan kelapa sawit PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) tahun 1997. |
Pandangan sinis terhadap
peladang dan kegiatan berladang setidaknya telah dimulai sejak peristiwa petaka
asap kali pertama terjadi tahun 1997/1998 akibat kebakaran hutan/lahan yang
terjadi seiring dengan mulai maupun telah maraknya pembukaan industri
ekstraktif. Pada tahun itu, pihak Kementrian Lingkungan Hidup juga merilis
sejumlah perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran pada konsesinya.
Sementara di Kalimantan Barat, peristiwa kebakaran meluas yang terjadi turut
ditandai dengan sanksi adat capa molot kepada Kadis Kehutanan karena menuduh
peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan kabut asap. Pada sisi lain,
tindakan sengaja perusahaan yang membersihkan lahan konsesinya dengan cara
bakar pada tahun tersebut tidak memperoleh sanksi serius. Di Kalimantan Barat beberapa
waktu terakhir bahkan satu dari empat perusahaan yang diproses terkait kasus
kebakaran pada konsesinya malah dihentikan proses hukumnya (di SP3kan).
Peristiwa kebakaran hutan dan
lahan yang meluas selanjutnya disusul pada tahun-tahun berikutnya. Sekitar
tahun 2005/2006, petaka asap hebat juga melanda Kalimantan Barat dan Indonesia
pada umumnya. Kembali, pihak Kementrian Lingkungan Hidup bahkan merilis 579
konsesi perusahaan skala besar yang terindikasi melakukan pembersihan lahannya
dengan cara bakar yang meliputi wilayah Sumatera dan Kalimantan. Di Kalimantan Barat
pada tahun itu, dua perusahaan perkebunan kelapa sawit group Wilmar di Sambas
yang terindikasi membersihkan lahannya dengan cara bakar sempat diproses hukum
namun kandas saat disidangkan di PN Singkawang.
Selanjutnya, kebakaran pada
sejumlah konsesi perkebunan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Namun
demikian, perkembangan terhadap sejumlah kasus tersebut nyaris tanpa kabar.
Puncak dari peristiwa petaka asap dan kebakaran meluas pada sejumlah konsesi
perusahaan itu terjadi pada tahun 2015 lalu yang kemudian ditandai dengan
penegasan komitmen Presiden Jokowi; Indonesia Bebas Asap. Situasi ini yang
menjadi cikal lahirnya larangan membakar yang selanjutnya berdampak meluas,
terutama larangan terhadap cara membakar yang dilakukan dalam berladang.
Di Kalimantan Barat, pihak
kepolisian kemudian menerbitkan “Maklumat Kepolisian” tentang Larangan
Pembakaran Hutan dan Lahan tanggal 7 Juli 2015 yang meminta seluruh warga
masyarakat dan pihak manapun di Kalimantan Barat agar tidak melakukan
pembakaran lahan, hutan dan kebun atau tindakan lain dengan tujuan apapun, baik
sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menimbulkan terjadinya bahaya asap dan
rusaknya lingkungan hidup serta gangguan kesehatan dan kegiatan masyarakat
lainnya. Dalam maklumat tersebut juga termuat ancaman pidana 3 hingga 10 tahun
dan denda 15 milyar rupiah. Sementara sanksi terhadap perusahaan pembakar lahan
hingga kini masih belum ada.
Tiga bulan kemudian, tepatnya
tanggal 24 Oktober 2015, Presiden Jokowi baru menerbitkan Inpres 11 Tahun 2015
tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang mengamanahkan
untuk meningkatkan penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap
perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan
lahan. Salah satu poin dari Inpres tersebut meminta agar para Gubernur dan
Bupati/Walikota untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha pertanian
yang tidak melaksanakan pengendalian kebakaran lahan yang menjadi
tanggungjawabnya.
Bentuk usaha lainnya yakni
adanya kampanye dalam bentuk pemasangan spanduk pada sejumlah titik tentang
larangan melakukan pembakaran lahan dan hutan yang disertai dengan informasi
ancaman pidana dan denda milyaran rupiah yang diterbitkan oleh TNI (Kodim
1207/BS). Selain itu juga adanya sosialisasi tentang Maklumat Kepolisian yang
ditandatangani Kapolda Kalimantan Barat dan turut “diperbanyak” oleh sejumlah
perusahaan perkebunan dengan memasangnya pada sejumlah areal konsesi juga
kantor usahanya.
Ajakan untuk meninggalkan
kegiatan berladang (dan menggantinya melalui pertanian modern) dengan
argumentasi bahwa upaya berladang yang mulai berkurang membantu pemerintah
menjaga kelestarian lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global turut
ditegaskan Bapak Cornelis selaku Gubernur Kalimantan Barat saat membuka Pekan
Gawai Dayak (PGD) XXXI tanggal 20 Mei 2016. Baru pada tanggal 13 Juli 2016,
Maklumat Bersama tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun kemudian
diterbitkan Forkompimda Kapuas Hulu. Larangan ini turut disertai dengan ancaman
pidana dan denda milyaran rupiah bagi pelaku.
Sejumlah larangan yang
disampaikan tentu sah saja bila hal tersebut sebagai bagian dari respon atas
persoalan petaka asap meluas yang selama ini kerap terjadi. Namun demikian,
sangat penting pula disertai dengan pemahaman yang baik mengenai sejarah maupun
petaka asap itu sendiri, bagaimana proses berladang yang dilakukan komunitas
dan perlindungan negara terhadap warganya yang mengelola pertanian dengan
kearifan lokalnya. Hal ini sangat krusial agar tidak terjadi “sesat fikir”
maupun tindakan salah kaprah di lapangan yang justru berpotensi merugikan
masyarakat peladang sebagaimana yang terjadi belakangan ini.
Sangat penting pula
mendudukkan akar persoalan petaka asap pada porsi yang benar agar semua pihak
terutama aparatur negara tidak salah kaprah, baik dalam memahami, membuat
maupun menerapkan aturan “larangan pembakaran” di lapangan. Menyamakan kegiatan
membakar yang dilakukan dengan sadar disertai pengetahuan tradisional dan
kearifan lokal oleh komunitas dengan pembakaran dan atau kebakaran pada
sejumlah konsesi perusahaan (maupun sekitarnya) dengan skalanya yang luas dan
itu terjadi digambut misalnya, tentu tidak relevan.
Bukan Kejahatan
Padi yang sedang tumbuh di ladang warga Banuah, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. |
Kegiatan berladang yang
disertai dengan kearifan lokal selama ini sejatinya bukan perbuatan melawan
hukum. Kegiatan pertanian turun termurun warisan leluhur komunitas itu bukan
sebuah kejahatan. Undang-undang pasal 69 ayat 2 dengan tegas mengecualikan
praktik yang disertai kearifan lokal itu sebagai perbuatan yang termasuk dilarang
dalam hal membakar sebagai sebuah metode dalam membersihkan lahan pertanian.
Pada pasal ini disebutkan bahwa; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf h memperhatikan dengan sungguh- sungguh kearifan lokal di daerah
masing- masing”. Selanjutnya pada bagian penjelasan juga dengan tegas
disebutkan bahwa “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala
keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat
bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.
Bila memperhatikan amanah UU
tentang kearifan lokal yang disebutkan, maka sesungguhnya praktik yang dimau
tersebut jauh hari telah ada dan menyertai proses berladang yang selama ini
dilakukan oleh masyarakat peladang. Dokumentasi yang dilakukan WALHI Kalimantan
Barat terhadap kegiatan berladang pada Komunitas di Binua Sunge Samak,
Kabupaten Kubu Raya misalnya mencatat lebih dari 20 tahapan berladang
sebagaimana warisan leluhur komunitas yang harus dilewati. Tahapan dimaksud
dimulai dengan bahaupm (musyawarah) hingga mipis banih ataugawe
padi (gawai padi) sebagai ungkapan kegembiraan dan syukur komunitas
atas hasil pertanian kepada Sang Pencipta.
Kegiatan berladang gilir balik
yang dilakukan komunitas selama ini sejatinya juga tidak sekedar bagian dari
usaha untuk mengusahakan (hak atas) pangan semata, namun juga bagian dari
siklus kehidupan yang syarat dengan nilai, adat istiadat dan budaya. Melalui
kegiatan berladang, tergambar adanya relasi baik yang terjalin; baik antar
sesama, dengan alam, maupun relasi dengan Sang Pencipta itu sendiri. Jadi
sangatlah jelas bahwa kegiatan berladang tidak sesederhana yang dibayangkan
seperti mislanya; membuka lahan, bakar lalu keluar asap.
Salah Alamat
Baliho Maklumat Kepolisian tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun yang dipasang pada salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit. |
Langkah pihak yang menjatuhkan
air untuk memadamkan api saat peladang membersihkan ladangnya dengan cara bakar
melalui helikopter sewaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan
Barat sangat tidak tepat sasaran. Tindakan ini hemat penulis sebuah tindakan
gegabah yang justru bertentangan dengan amanah konstitusi maupun apa yang dimau
Presiden sebagaimana Inpres 11 tahun 2015 yang ditebitkan. Tindakan pelarangan
membakar yang tidak disertai dengan pemahaman yang mumpuni oleh aparatur atas
apa yang boleh dan tidak tanpa menyandingkannya dengan kearifan lokal komunitas
malah akan menambah persoalan serius bagi masyarakat. Hal ini pula secara etika
komunitas sesungguhnya tidak dibenarkan.
Tindakan pemadaman ladang yang
sedang dibersihkan dengan cara bakar oleh pemiliknya tersebut tidak lebih dari
hanya sekedar “menghambur-hamburkan uang”. Bila sekali terbang saja misalnya
menghabiskan biaya sekitar 400an juta sebagaimana pengalaman tahun 2015 lalu,
maka dapat dibayangkan bila helikopter tersebut terbang berkali-kali atau
hingga ratusan kali dalam beberapa waktu terakhir.
Pada sisi lain, situasi ini
juga sangat ironis; disaat upaya pemerintah untuk mendorong ketahanan pangan
sedang dilakukan, namun pada saat bersamaan upaya “penghentian” kegiatan
berladang untuk mengusahakan pangan sendiri oleh komunitas malah terjadi.
Demikian pula tindakan refresif di lapangan yang dilakukan oleh aparatur negara
yang “memburu” masyarakat peladang seolah telah melakukan sebuah kejahatan
sedianya tidak terus dilakukan esok dan seterusnya.
Salut untuk Komunitas
Sudah semestinya negara hadir
dan memberi perlindungan di tengah situasi warganya yang sedang berjuang untuk
memenuhi hak asasinya atas pangan. Sudah semestinya pula, negara melalui
aparaturnya memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang persoalan
petaka asap, proses berladang oleh komunitas hingga perlindungan negara
terhadap warganya dengan kearifannya sebagaimana turut diamanahkan konstitusi.
Tindakan salah alamat
memadamkan ladang warga serampangan harus dipastikan tidak diulang kembali.
Demikian pula pembiayaan helikopter pemadam kebakaran yang digunakan oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat dan atau Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memadamkan ladang penting diketahui, diaudit
dan disampaikan secara terbuka kepada masyarakat luas. Penting pula permohonan
maaf secara terbuka oleh negara melalui pihak terkait disampaikan kepada
masyarakat peladang yang telah menjadi korban hingga harus merasa trauma,
sedih, marah maupun kecewa.
Tentu saja kepada masyarakat
peladang, terlebih bagi mereka yang menjadi korban bom air maupun yang menjadi
korban kriminalisasi karena berladang, penulis menyampaikan hormat dan salut
atas kesabaran Anda semua yang tidak gegabah (seperti mereka) dalam bertindak.
Tentu saja aturan (adat) di komunitas dapat saja berlaku dalam menyikapi
situasi yang dihadapi warganya saat ini. Namun demikian, hal tersebut berpulang
pada kemauan kuat warga sekitar dan atau komunitas yang menjadi korban untuk
bertindak atas langkah serampangan pemadaman “salah alamat” itu.
Tetaplah berladang sesuai
pengetahuan tradisonal dan kebijaksanaan turun temurun yang diwariskan leluhur.
Berladang dengan kearifan lokal sejatinya bukan kejahatan, namun jalan
kehidupan yang sedianya terus dihidupi dengan disertai semangat, keyakinan,
solidaritas dan kerja keras.
Melarang berladang berarti
membiarkan warga untuk kelaparan dan tersingkir dari adat, bahasa ibu,
pengetahuan tradisional maupun tanah tumpah darahnya. Sedangkan daya respon warga
atas larangan membakar dan bom air yang ditumpahkan saat membersihkan ladang,
akan sangat menentukan persepsi publik mengenai sejauhmana kegiatan berladang
sebagai suatu yang sangat penting bagi komunitas saat ini?
[1]
Penulis aktif di WALHI Kalimantan Barat. Peminat isu
Lingkungan Hidup, Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia, Demokrasi, sosial budaya
dan Perdamaian.
ARTIKEL ini sebelumnya telah terbit di Harian Kapuas Post pada Minggu, 16 Oktober 2016.