Seorang anak di kampung Lingga Dalam, Desa Lingga, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya sedang menyemai benih padi di ladang #HendrikusAdam2016 |
SEKITAR tanggal 7 September
2016 lalu, peristiwa miris dialami peladang di kampung Bawas, Desa Teluk
Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang. Helikopter yang membawa kantong air kala itu
tiba-tiba datang dan menjatuhkan air persis di ladang ketika api baru mulai
menyala sekitar 15 menit. Hasilnya, ladang milik Enda yang baru akan
dibersihkan dengan cara bakar kala itu lantas padam.
Kejadian serupa juga dialami
Lina dan dua warga lainnya di kampung Lingga Dalam, Desa Lingga, Kecamatan
Sungai Ambawang empat hari sebelumnya. Masih banyak peladang yang kemudian
menjadi “korban” atas kebijakan yang tidak populis atas kegiatan pertanian
turun temurun warga yang disertai dengan kearifan lokalnya tersebut.
Dampak langsung dari peristiwa
tersebut melahirkan jejak berupa rasa kecewa, kesal, marah dan bahkan trauma.
Sejumlah warga yang menjadi korban atas kejadian tersebut mengaku “manas tak
berlawan” atas situasi yang dialami. Di tempat terpisah, bahkan ada di antara
warga yang berani mengacungkan parang pasca lahan pertaniannya disiram air
rekayasa via helikopter yang didatangkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kalbar tersebut sebagaimana
kisah Arif Munandar, Kru Helikopter beberapa waktu lalu (26/9).
Kehadiran helikopter yang
lantas memadamkan api di ladang saat warga membersihkan lahan ladangnya dengan
cara bakar menjadi unik dan berkesan. Berkesan dan unik sebagai suatu tindakan
yang tidak memihak pada kepentingan warga yang kali ini dilakukan. Bahkan
ketika helikopter patroli sedang melakukan aksinya pada Agustus hingga
September 2016 lalu, muncul istilah baru di komunitas yakni “Musim Helikopter Memadamkan (paksa) Ladang Warga”.
Salah Alamat
Rasa resah, kecewa dan bahkan
marah yang dialami peladang atas ulah pemadaman serampangan melalui bom air
mengisyaratkan adanya persoalan serius di lapangan. Kebijakan larangan membakar
yang ditabuh pemerintah seperti Maklumat Kepolisian, Intruksi Presiden (Inpres)
11 Tahun 2015, spanduk larangan membakar oleh TNI hingga ajakan meninggalkan
ladang oleh Pemda Kalbar telah memantik lahirnya tindakan meresahkan. Bahkan
pada sejumlah kasus, aparatur di lapangan tidak segan untuk “menciduk” warga
yang membersihkan ladangnya dengan cara dibakar.
Hal yang paling menggelitik
adalah pesan papan plang berlogo Kementrian Kehutanan RI yang diterbitkan Balai
Taman Nasional Gunung Palung Seksi Wilayah I Sukadana yang menyebutkan;
“Membuka Ladang dengan Cara Membakar adalah Perbuatan tidak bijaksana”. Kalimat
ini jelas mengesankan pengabaian sisi kearifan lokal dalam praktik berladang
selama ini. Bila pemahaman tersebut membumi dalam benak setiap isi kepala
aparatur penyelenggara negara, maka sangat berpotensi melahirkan persoalan lapangan
berkepenjangan.
Usaha untuk menghentikan
petaka asap akibat kebakaran meluas selama ini memang perlu langkah nyata
sebagai ekspresi tanggungjawab negara. Namun demikian, tidak lantas mentolerir
tindakan-tindakan serampangan yang menjurus pada tindakan refresif terhadap peladang
yang mengusahakan (hak atas) pangannya sendiri.
Kebijakan bom air untuk
memadamkan ladang, hemat penulis jelas tidak tepat atau salah alamat. Kebijakan
salah sasaran ini justru mubajir dan terkesan menghamburkan sumberdaya untuk
kepentingan jangka pendek. Selain secara etika komunitas tindakan tersebut
tidak dibenarkan karena mengganggu usaha untuk keberlanjutan hidup yang menjadi
bagian dari pekerjaan warga. Hal ini juga telah mengabaikan amanah
undang-undang terhadap kearifan lokal dalam kegiatan berladang yang mestinya
mendapat perhatian untuk mendapat perlindungan.
Praktik aparatur di lapangan yang
digambarkan di atas mengkonfirmasi adanya fenomena “gagal paham” terhadap;
kegiatan berladang dengan kearifan lokalnya, aturan perundang-undangan yang memberi
perlindungan, hingga persoalan seputar petaka asap akibat kebakaran meluas
selama ini. Akibatnya, kebijakan larangan membakar dan tindakan bom air justru
berpotensi dan bahkan telah melahirkan “ketidakpercayaan” warga terhadap negara
beserta aparaturnya. Karenanya, tindakan tidak populis tersebut menjadi sangat
mendesak untuk dievaluasi serius pelaksanaannya dan khusus untuk bom air ladang
hendaknya dihentikan.
Bukan Kejahatan
Kegiatan berladang yang
disertai dengan kearifan lokal selama ini sejatinya bukan perbuatan terlarang.
Bukan pula sebuah kejahatan. Hal ini misalnya telah dipertegas sebagaimana
dimuat dalam Pasal 69 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup.
Pasal dimaksud menyebutkan
bahwa; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan
dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing”. Lebih lanjut,
pada bagian penjelasan dalam UU yang sama juga dengan tegas disebutkan bahwa
“Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran
lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami
tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah
penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.
Dengan demikian, konstitusi
dengan tegas memberi pengecualian terhadap praktik kegiatan berladang sebagai
perbuatan yang termasuk dilarang dalam hal membakar sebagai sebuah metode dalam
membersihkan ladang. Pada sisi lain, sikap kehati-hatian mengelola lahan
pertanian melalui kegiatan berladang sebagaimana yang dimau dalam UU tersebut
sejak lama telah ada dan menyertai proses pertanian turun temurun komunitas
ini. Dokumentasi yang dilakukan WALHI Kalbar terhadap kegiatan berladang pada
Komunitas di Binua Sunge Samak, di Kabupaten Kubu Raya misalnya mencatat lebih
dari 20 tahapan berladang sebagaimana warisan leluhur komunitas.
Merawat Pengetahuan dan
Relasi
Berladang gilir balik penting
dipahami tidak ansih tentang pemenuhan pangan yang menjadi hak asasi warga
semata. Namun, juga bagian dari siklus kehidupan. Dengan berladang yang masih
dilakukan, warga di komunitas merawat pengetahuan tradisional dan ingatannya
terkait dengan nilai, adat istiadat dan budaya. Dengan berladang, komunitas
merawat relasi yang mengekspresikan adanya jalinan harmoni; baik antar sesama,
dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Pencipta itu sendiri. Karenanya,
kegiatan berladang sejatinya tidak sesederhana yang dibayangkan. Sangat
kompleks.
Dilema yang dihadapi peladang semestinya
dapat diakhiri bila ada itikad baik, terutama aparatur negara untuk mau
memastikan kehadirannya dalam melindungi, mengayomi dan melayani. Pada sisi
lain, masyarakat peladang penting untuk sungguh memastikan agar kegiatan
pertanian turun temurun yang dilakukan mutlak sesuai pengetahuan tradisonal dan
kearifan lokal yang diwariskan leluhur selama ini.
Melarang berladang berarti
membiarkan warga untuk kelaparan dan tersingkir dari adat istiadat pertanian
turun temurun, bahasa ibu, pengetahuan tradisional maupun tanah tumpah darahnya.
Demikian pula ketidakberpihakan kebijakan pada kepentingan peladang hanya akan
melahirkan deretan rasa kecewa dan sakit hati rakyat kepada pemerintahnya
sendiri. Semoga badai bagi masyarakat peladang yang sekaligus warga negara
segera berlalu dan tidak hadir esok dan seterusnya.
[1]Penulis
aktif di WALHI Kalimantan Barat. Peminat isu Lingkungan Hidup, Masyarakat Adat,
Hak Asasi Manusia, Sosial Budaya dan Perdamaian.
ARTIKEL ini sebelumnya terbit di Harian Pontianak Post edisi cetak pada 6 Oktober 2016 halaman 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar