Kamis, 08 November 2007

Bagaimana Ritual Menyambut Tamu Dayak Inggar Silat?

By. Hendrikus Adam Barage Repo

Ingar Silat merupakan salah satu suku Dayak yang ada di Bumi Khatulistiwa, khususnya di daerah pedalaman Kalimantan Barat tepatnya di Kampung Lubuk Besar, Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang. Seperti masyarakat Dayak pada umumnya, sebagian besar penduduknya adalah petani tradisional yang menggantungkan hidup dan kehidupannya pada kekayaan sumber daya alam disekitarnya. Bertani (berladang) dan menoreh karet adalah sumber aktivitas utama yang digeluti warga Inggar Silat. Dengan keasliannya, nilai-nilai adat istiadat tradisional warisan nenek moyang seperti adat bertani, Nampuk Bukit Imbun dan berbagai kesenianpun masih dipelihara hingga kini. Pun demikian dengan ritual menyambut tamu dari luar yang akan bertandang kesana, prosesi adat penyambutan bisanya menjadi suguhan yang menyenangkan. Seperti apa prosesi Ritual Penyambutan Tamu ala warga Dayak Inggar Silat khususnya di Kampung Lubuk Besar?

Bak pepatah, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Dimana kita berada, disitu adat istiadat, nilai dan norma-norma harus kita patuhi. Fenomena ini sangat kentara dan tetap hidup pada masyarakat Ingar Silat. Adat menyambut tamu bagi warga Ingar Silat biasanya dimulai dengan persiapan-persiapan yang diawali dengan musyawarah kampung untuk mufakat, selanjutnya diteruskan dengan aktivitas hasil musyawarah seperti pembuatan gapura (pintu gerbang masuk), persiapan tarian adat berikut alat musiknya, petugas penyambutan, serta peraga adat penyambutan yang harus disiapkan.
Dalam tradisi Dayak Inggar Silat, tamu yang dimaksud biasanya orang-orang penting, orang-orang yang datang dari luar komunitasnya/diluar kampungnya, yang diyakini dapat memberi kontribusi berupa pandangan, perhatian maupun pemikirannya untuk kemajuan warga dan kampungnya. Pada awal prosesi ini sebelum sampai dikampung, biasanya tamu yang akan datang di tunggu dijalan depan sebelum kampung dengan maksud menjemput tamu. Ini biasanya dilakukan oleh seorang tetua adat lengkap dengan pakaian adat dengan satu batang sumpit dengan sebilah mata tumbak dibagian ujungnya dan (senjata tradisional) terhunus di pinggangnya. Sementara tiga buah gong yang diambin tiga orang warga siap ditabuh.
Pada saat tamu tiba, tetua adat lantas memberi aba-aba kepada ketiga penabuh gong untuk memulai prosesi. Selanjutnya dengan diringi suara gong yang bersahut-sahutan, biasanya sesekali tetua adatpun mulai melambaikan tangannya yang lembut gemulai dalam bentuk gerak tari tradisional. Setelah tetua puas menari, sambil diiringi gong, tamu beserta rombongan kemudian dipimpin tetua adat menuju pintu gerbang kampung yang dibuat sedemikian rupa, sementara dibarisan sebelah kiri dan kanan warga kampung siap dengan senyum penuh antusias menyambut kedatangan tamu.
Sesampai digerbang, tetua yang sedari tadi mengawal rombongan tamu dengan isyarat tertentu kemudian menyerahkan prosesi selanjutnya pada tetua adat lainnya yang memang telah menunggu. Persis di antara pintu gerbang, biasanya terhampar alas tikar dengan perangkat berupa satu buah dulang yang didalamnya berisi sebutir telur ayam kampung, setumpuk tanah kuning, sebongkah batu ukuran kecil, besi, beras dan air dalam wadah. Sang tetua adat biasanya mulai memercikkan beras suci (istilah tradisional bagi warga setempat=beras putih) kepada tamu yang datang sambil ber-memang (membacakan ayat-ayat adat). Sementara sebatang ringatangan (dari tebu) terpasang melintang antara sisi kiri dan sisi kanan gerbang. Oleh tamu (pimpinan rombongan), setelah mendapat aba-aba dari tetua adat setempat, tebu yang melintang tadi lantas dipotong (nungkung) dengan sebilah mandau. Saat diminta menginjakkan kakinya di atas dulang yang berisikan tanah, batu, telur dan lainnya, tamu disaat bersamaan juga diminta menengadah kelangit sambil minum air yang disuguhkan. Usai prosesi ini, tamu dengan diiringi penari dan iringan musik tradisional (gong, keledi’) diperbolehkan melanjutkan perjalanan menuju tempat peristirahatan yang dikhususkan oleh warga, dimana empat orang penyambut tamu dengan atribut adat siap menanti. Sebelum memasuki tempat peristirahatan, biasanya pula disuguhkan dengan atraksi seperti pencak silat dan kesenian lainnya.
Dibalik peraga adat tersebut, ternyata memilik makna mendalam. Hal ini biasanya terungkap dalam ayat-ayat adat pada prosesi penyambutan tamu seperti dituturkan Kara (98); ”tebu kayu manis, tamu ati manis kami semua ati manis-dulang tapang dibisi’ lembia (didalam tapang ada penguasanya/yang menciptakannya)-teguh batu teguh kepala (kuat batu kuat kepala)-tebal tanah tebal belala’ (tebal tanah tebal rezeki)-panjang ai’, panjang nyawa (sepanjang sungai, panjang umur)-tinggi langit, tinggi berita (setinggi langit, tinggi pula kabar baik yang tersebar)-bujur suti’ bujur semua, hati putih berdarah putih, hati bersih berdarah bersih (satu baik, maka semuanya akan baik yang diikuti pikiran dan hati yang bersih pula).”
Menurut Marta (42 th), Ketua adat Lubuk Besar didampingi Pikai Nawan (62 th), Panglima Tani Inggar Silat, dengan dipotongnya tebu bermakna tidak ada lagi rintangan dan jalan telah terbuka mulus, terlebih dengan tebu yang identik dengan rasanya yang manis, maka tamu yang datang diharapkan berhati manis demikianpula warga sebaliknya juga berhati manis dengan kedatangan tamu. Selanjutnya, tikar bermakna kesederhanaan dan kesediaan warga untuk menerima dengan lapang dada dan memberi yang terbaik, telur bermakna supaya tamu yang datang berpikir bulat dan positif, juga bermakna persatuan. Beras suci/beras putih bermakna hati yang bersih, besi bermakna pembuka jalan, penguat semangat, air melambangkan ketenangan dalam perjalanan/panjang umur, dulang bermakna agar orang-orang yang datang sehati sejiwa bersatu, batu dan tanah melambangkan suatu kesatuan sebagai simbol yang menunjukkan keagungan dan kehadiran sang pencipta alam semesta beserta isinya.

Catatan Perjalanan dari Pedalaman Kalbar:


Menapak Jalan Menuju Bukit Imbun
by. Hendrikus Adam

Pagi itu pukul 05.00 Wib, saat dimana angka kalender di bulan September tahun masehi (2007) bertambah satu hari (23/9). Bis Marus dengan plat KB 1688 MN jurusan Pontianak-Sintang yang menempuh kurang lebih 10 jam perjalananpun akhirnya terparkir rapi disusul berhentinya lirik mesin yang mengiringi perjalanan penumpangnya persis di Termilal Sei Durian, di jantung kota Sintang. Suasana kota terlihat lengang. Hilir mudik kendaraan masih sepi. Perlahan namun pasti, satu persatu dari penumpang mulai bangkit dari tempat duduk masing-masing dan keluar dari Bus yang dikelola CV. Maju Terus.

Diantara para penumpang lainnya, seorang lelaki paruh baya berpakaian rapi, topi cowboy, baju rompi agak keabu-abuan keluar dengan menggendong dua tas hitam berisikan laptop dan pakaian. Dengan kacamata bening yang selalu menghiasi wajahnya memang tidak begitu susah untuk mengenalnya. Dialah Mikael Eko, salah seorang aktivis Lembaga Sosial Masyarakat/NGO (PPSDAK) yang cukup sering melanglang buana kekampung-kampung didaerah ini. Dibelakangnya kemudian menyusul keluar tujuh orang lainnya termasuk penulis, yakni; Nikodemus, Lina, Ngilah, Endang K, David, Theresia, Adam. Semuanya adalah rombongan yang diberangkatkan secara khusus dari Pontianak mewakili lembaganya masing-masing untuk menghadiri undangan Panitia Ritual Adat Nampuk Bukit Imbun di Kampung Lubuk Basar, Kecamatan Kayan Hilir, Sintang. Seperti halnya Eko, ketiga nama pertama juga adalah aktivis NGO, masing-masing dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI Kalbar, LBBT, dan Riak Bumi. Sedangkan empat orang terakhir adalah jurnalis mass media yakni seorang dari koran harian Borneo Tribune dan dua orang dari RUAI Televisi, serta penulis sendiri diberi kesempatan mewakili Majalah Kalimantan Review.

Diterminal Sei Durian, rombongan tim yang dipimpin M. Eko harus menunggu hampir setengah jam. Tepat pukul 05.29 Wib, tim meninggalkan jejak menuju terminal berikutnya dengan mengendarai oplet berplat KB 1806 EA Jurusan Sei Durian-Pasar Impres. Sekitar 20 menit kemudian, tepatnya pukul 05.49 Wib tim tiba di Terminal Pasar Inpres. Diterminal ini, rombongan tim yang dipimpin M. Eko tidak lantas meneruskan perjalanan. Karena angkutan masih sepi, mereka (tim) harus bersabar menunggu. Sesekali, dibagian atas jalan masuk arah terminal tampak orang-orang dengan buku tebal warna hitam ukuran komik berlabel DoaKu-Alkitab melintas dengan langkah pasti menuju tempat ibadah (gereja) yang tidak jauh dari tempat itu. Hari Minggu telah tiba. Kesempatan menunggu ini dimanfaatkan untuk berbelanja keperluan lainnya, juga tidak ketinggalan dimanfaatkan untuk mengisi kampung tengah masing-masing. Warung pojok disekitar termilalpun tidak luput dari sasaran. Tentu bisa dimaklum, sekedar buat jaga-jaga karena perjalanan masih jauh. Meski demikian, satu orang diantaranya (Endang K) harus gigit jari, lantaran tidak bisa menikmati makanan seperti anggota tim lainnya. Bukan karena tidak diberi kesempatan, namun karena tuntutan untuk mengamalkan ajaran keyakinannya (berpuasa) yang ’memaksa’ dia harus tidak makan saat itu. Saat rombongan tengah makan, seorang anggota rombongan tim dari lembaga Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Tatang, juga salah seorang Tim Pencari Fakta pada kasus PT. KRBB yang tiba sehari sebelumnya datang menyusul di Pasar impres. Usai makan, rombongan kembali ke terminal dan mendapati Jaelani (Pemuda Lubuk Besar) yang datang belakangan ke Pasar Impres yang diminta menjaga barang di terminal sudah tidak berada ditempat.

Menuju Lubuk Besar
Setelah puas menunggu sambil menikmati suasana Pasar Impres dan sekitarnya selama 2 jam 19 menit, tepat pukul 08.08 Wib rombongan kembali meneruskan perjalanan menuju Lubuk Besar. Kali ini, tim bertambah satu orang (Tatang) hingga menjadi sembilan orang. Dari Pasar Impres, rombongan menumpang kendaraan Mini Bus angkutan pedesaan berplat KB1386E jurusan Pasar Impres (Sintang)-Plaik-Jantak-Melingkat dengan biaya Rp. 35.000/penumpang. Didalam Mini Bus (angkut), Lina yang mengenakan bandana (slayer) dikepalanya duduk paling depan bersebelahan dengan sopir bus Pak Man (Rudi), sedangkan dibarisan pertama dibelakang sopir penulis dan David dari Ruai TV duduk berdampingan, kemudian disusul pada bangku barisan ke-2 dan ke-3 masing-masing; Nikodimus, Endang, Theresia, M. Eko, Ngilah dan Tatang.

Dalam perjalanan, musik disko remik dangdut berbaur dengan lirik suara mesin tiada henti bersahut-sahutan. Sementara diluar mobil sejauh mata menerawang dalam perjalanan, suguhan pemandangan alam bukit kelam, kebun karet, areal ladang, lokasi pertambangan batu dan lainnya tidak luput dari bidikan bola mata. Sesekali, diantara rombonganpun tidak lupa merekam pemandangan selama dalam kendaraan. Selama kurang lebih tujuh puluh delapan menit, tepatnya pukul 09.26 Wib rombongan tiba di SP 1 Simpang Medang dan mulai memasuki kampung pedalaman arah Lubuk Besar. Kali ini jalan yang dilewati tanpa aspal. Jalur tanah kuning kemerehan. Untung saja kondisi cuaca bersahabat, sehingga jalur tanah kuning dengan kontur jalan berbukit tidak begitu licin. Pun demikian, kondisi jalur yang dilewati tetap saja menantang, terutama oleh sang nahkoda (sopir) mobil, Rudi yang harus ekstra hati-hati menyetir. Dari SP 1 Simpang Medang yang melewati kampung Medang, SP 1, Merempit, Mengkirai, Bula’ Pendek, rombongan akhirnya tiba di simpang tiga, Kampung Gamang, Desa Melingkat, Kecamatan Kayan Hilir, Sintang sekitar pukul 09.58 Wib. Ditempat ini, rombonganpun berpisah dengan Pak Man yang harus kembali melanjutkan trayek angkutannya. Disaat bersamaan, Nikodemus Nasution (Nasti) dari PPSDAK tiba di Gamang yang akhirnya menambah jumlah rombongan tim dari Pontianak hingga genap berjumlah 10 orang. Nasti tiba dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Special seorang diri.

Di Gamang, rombongan tidak langsung berangkat menuju lokasi, maklum belum ada kendaraan jemputan. Sambil menunggu, tim pun melepas lelah sambil minum kopi-teh di warung Pak Bendi (36). Menurut ayah dua anak ini, perjalanan menuju Lubuk Besar masih terbilang jauh. ”Butuh waktu sekitar kurang lebih 4 jam perjalanan lagi ke arah Lubuk Besar bila berjalan kaki,” pungkasnya. Bendi juga mengurai kalau di Desa Meningkat saat ini tengah beroperasi Perusahaan Perkebun Kelapa Sawit. Tepat pukul 11.05 Wib karena telah ada beberapa kendaraan, empat orang dari rombongan tim (Lina, Endang, There dan Nasti) harus melanjutkan perjalanan terlebih dahulu ke Lubuk Besar. Tidak begitu lama, tim yang lainnyapun menyusul turut meninggalkan Simpang Gamang dengan berjalan kaki. Perjalanan dari Simpang Gamang kearah Lubuk Besar memang begitu menantang. Medan jalan setapak dengan sedikit pelebaran, namun syukur masih bisa dilewati kendaraan roda dua. Selama dalam perjalanan, satu persatu warga Lubuk Besar datang menjemput tim yang berjalan kaki secara berurutan; Mikael Eko, Nikodemus, Tatang. Tiga orang lainnya; David, Adam dan Ngilah dijemput di Kampung Sei Getah, yang saat itu tengah mampir di rumah salah satu warga (Pak Saleh).

Setelah melewati beberapa kampung dalam perjalanan ke Lubuk Besar untuk sekedar melepas lelah, timpun harus kembali beristirahat persis ditepi Sungai Inggar sambil menunggu Jemputan kendaran lengkap dari warga. Pukul 13.30 Wib rombongan dengan diboyong kendaraan jemputan dari warga kembali melanjutkan perjalanan dan sekitar pukul 13.40 Wib rombongan tiba di Lubuk Besar. Dalam perjalanan dari Gamang ke Lubuk Besar, sedikitnya lima kampung yang dilewati diantaranya; Sei Getah, Neran, Desa Sei Buaya, Tanjung Baung, Lubuk Leban.

Di Sambut Warga
Sesampai di Kampung Lubuk Besar, didepan rombongan tampak seorang tetua adat yang diperankan Pikai (62) lengkap dengan pakaian adat, mandau dan (sumpit) terhunus bersamanya sambil berdiri tegak, sementara 3 orang warga lainnya siap menabuh gong. Ritual adat penyambutan tamu ala warga Lubuk Besar wilayah adat Ketimanggongan Inggar Silat pun bermula. Saat mendapat aba-aba, tangan-tangan ketiga penabuh gong tampak lincah berayun kesana kemari. Sesekali Pikai yang juga dikenal sebagai Panglima Tani di Kampung Lubuk Besar meliuk-liuk menari diikuti irama gong yang bersahut-sahutan. Atraksi yang dilakukan Pikai bersama tiga orang penabuh gong merupakan prosesi Penjemputan Tamu. Usai menari, rombongan tim akhirnya diarahkan mengikuti tetua adat (Pikai) dari arah belakang menuju gerbang yang berdiri tegak persis ditengah kampung sambil diiringi musik tradisional gong. Bunyi gong memiliki makna tersendiri pada acara penyambutan ini, terutama pada awal dibunyikannya gong. Disamping sebagai pertanda bahwa tamu telah tiba di kampung, bunyi gong juga dimaknai sebagai ungkapan gembira warga Lubuk Besar-Inggar Silat atas kedatangan tamu, juga bermakna sebagai hiburan bagi tamu. Ritual ini merupakan simbol doa yang diujudkan bagi tamu agar saat datang dan kembali pulang dalam keadaan sehat, jauh dari malapetaka.

Di pintu gerbang, tampak tetua adat lainnya tengah menanti, sementara di sebelah kiri dan kanan barisan warga dengan penuh senyum menyambut dengan antusias. Koordinator rombongan tim dari Pontianak (Mikael Eko) saat itu diperkenankan memotong tebu yang dipasang melintang persis ditengah-tengah gerbang. Sementara Kara (98) tampak komat kamit ber-memeng (membacakan ayat-ayat adat) mengawal prosesi penyambutan. Di sekitar gerbang juga tampak peraga ritual seperti dua buah tikar, satu buah dulang yang didalamnya berisi sebutir telur ayam kampung, setumpuk tanah kuning, sebongkah batu ukuran kecil, besi, beras suci dan air dalam wadah. Usai nungkung tebu (memotong tebu) dengan sebilah mandau, koordinator rombongan tamu diminta menginjakkan kaki di atas dulang sembari menengadah kelangit lantas diberi minum air putih, anggota tim pun mengikuti dari belakang. Kesempatan langka ini pun tidak dilewatkan oleh anggota tim dari mass media untuk mengabadikan prosesi itu lewat alat perekam masing-masing.

Usai prosesi, perlahan namun pasti di arah paling depan rombongan disambut dengan Tarian Kenyah yang diperagakan empat orang gadis, ketua adat (Marta) dan seorang lelaki paruh baya yaitu Adoi Ralop (42) membunyikan keledi’. Keledi’ sejenis alat musik tiup (alat musik tradisional) yang bahannya terbuat dari labu dan bambu yang dimodif sedemikian rupa. Sementara suara gong tetap menggema bersahut-sahutan. Sesampai di pelataran, seorang lelaki paruh baya lainnya juga tampak menggerak-gerakkan badan, kaki dan tangannya yang di pertunjukkan kepada hadirin dan rombongan saat itu dalam bentuk kesenian silat. Setelah itu, rombonganpun diperkenankan memasuki rumah yang dikhususkan untuk tamu. Sambil bersalam-salaman, satu persatu dari rombongan masuk kerumah peristirahatan. Dikiri dan kanan pintu masuk tampak empat orang dara penyambut tamu berseragam adat lengkap. Sesekali, suara salah seorang warga terdenganr melantunkan pantun yang mengisyaratkan kegembiraan atas kehadiran tamu. Dirumah peristirahatan, sambil bercengkrama ringan dengan warga, rombongan pun disuguhi minuman, lantas menyantap hidangan siang kala itu. Sore harinya, beberapa diantara tim terlibat permainan bola voly bersama warga. Pada malam harinya, memang tidak banyak aktivitas yang dilakukan rombongan tim disamping hanya sharing antar Panitia bersama tim untuk menyiapkan kegiatan esoknya, juga diadakan pemutaran film dokumenter mengenai lingkungan dan persoalan masyarakat adat yang sebelumnnya diawali perkenalan dari tim. Di rumah peristirahatan yang konon telah satu tahun tidak ditempati oleh pemiliknya (Saleh), ini pula yang akhirnya dijadikan tempat nginap sementara rombongan selama berada di Lubuk Besar.

Penguatan Masyarakat
Senin Pagi (24/9), usai mengurusi keperluan pribadi dan sarapan pagi, rombongan harus bersiap mengikuti seminar mengupas soal Penguatan Kawasan dan Pelestarian Adat Budaya yang diprakarsai warga melalui panitia setempat. Rangkaian kegiatan kali ini dimulai pukul 10.30 Wib bertempat di Gedung Sekolah Dasar Negeri 22 Lubuk Besar. Kegiatan seminar ini selain dihadiri warga dan rombongan tim dari Pontianak, juga dihadiri warga dari kampung lain seperti dari Nanga Pengga, Sei Buaya dan Perjuk. Para tetua adat Inggar silat, Suryadi Tulin (Timanggong Ingar Silat), Sarius (Kades Sei Buaya) serta Yosef (Kades Perjuk) juga turut hadir. Seminar diawali dengan Petabaya (doa pembuka yang dilantunkan dengan ayat-ayat adat) oleh Panglima Tani, Pikai (62) dengan mengenakan atribut adat lengkap dan tiga jenis daun juaran terselip diatas kepalanya. Hal ini dilakukan setelah sebelumnya mendapat aba-aba dari pembawa acara yang juga bendahara panitia, Makarius. Petabaya, merupakan doa pembuka khusus yang disampaikan sambil menaburkan beras suci yang menurut Suryadi Tulin dimaksudkan agar setiap orang yang hadir dalam pertemuan (seminar) dapat dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab mengikuti pertemuan dengan baik sehingga hasilnya pun diharapkan dapat diterima, disepakati dengan baik pula.

Usai pembacaan doa dilanjutkan dengan sambutan demi sambutan olah para hadirin, terutama oleh panitia, para tetua adat, tokoh masyarakat juga oleh perwakilan tim dari Pontianak. Dalam sambutannya, lebih khusus seperti yang disampaikan Suryadi Tulin selaku Temanggung Binua Inggar Silat kalau tampuk kepemimpinan Temanggung Adat didaerahnya berawal dari Timanggong Inggar (konon dikenal sebagai orang yang pertama datang di Kampung Lubuk Besar dan sekitarnya) yang hingga kini sampai pada dirinya sebagai temenggung yang ke-12. Tulin juga menyibak kegelisahannya karena Dayak Inggar Silat belum terdaftar dan diakui dalam daftar statistik Pemda Sintang sebagaimaan suku-suku lainnya. Setelah sambutan demi sambutan disampaikan, rangkaian seminar sessi pertama sempat diskor tepat pukul 12.30 Wib karena harus mengisi kampung tengah dan seminar pun kembali diteruskan pukul 15.00 Wib sedikit lambat dari waktu yang ditetapkan sebagaimana kesepakatan bersama forum yakni pukul 14.30 Wib. Rangkaian seminar kali ini dihantar oleh Mikael Eko (PPSDAK) yang sekaligus sebagai narasumber bersama tim dari Pontianak lainnya seperti; Lina, Tatang, Nico dan Sujarni Alloy. Alloy yang juga selaku Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Kalbar adalah rombongan tim yang ke-11, baru datang menyusul tepat pada saat pelaksanaan seminar kala itu. Sementara tim dari Pontianak lainnya seperti Ngilah, Nasti, Endang, David, There dan Adam turut mengikuti dan berbaur dengan warga sebagai peserta. Pun demikian, suasana seminar diikuti penuh antusias yang tidak kalah dengan seminar kebanyakan seperti yang dilakukan oleh orang-orang diperkotaan. Pada seminar ini, terungkap betapa pentingnya kawasan adat dan nilai-nilai budaya masyarakat dikelola, dipertahankan serta dilestarikan secara arif untuk kepentingan bersama. Peserta juga sepakat bahwa kawasan hutan (sumber daya alam) dan cagar budaya seperti Bukit Imbun agar tetap bebas dari upaya eksploitasi. Seperti diingatkan Alloy; ”kunci untuk mewujudkan keinginan tersebut hanya satu, yakni segenap warga harus bersatu dan jangan pernah mau dicerai berai (adu domba) oleh pihak lain.” Acara seminar pun berakhir sekitar pukul 15.00 Wib, lantas dilanjutkan dengan pertunjukan pentas seni budaya.

Pegelaran Seni Budaya
Tiga puluh menit kemudian tepatnya pukul 15.30 Wib, warga yang tadinya baru dihadapkan pada acara yang sedikit serius karena mengikuti seminar pun disuguhi dengan hiburan tradisional dalam bentuk tarian dan lagu daerah. Atraksi ini sengaja ditampilkan lebih awal karena para pelaku tari yang tampil adalah warga dari kampung sebelah (Sei Buaya) yang harus kembali lebih awal kekampunya. Seperti disampaikan Suryadi Tulin, salah satu tarian yang dibawakan adalah tarian seluang mudik. Tarian ini diperagakan beberapa orang wanita mengenakan pakaian adat dengan topi khusus dari anyaman terpasang di kepalanya. Kemudian disusul dengan penampilan beberapa orang anak muda membawakan syair-syair lagu dengan diiringi irama gitar. Selanjutnya seorang lelaki tua, Kara (98) dengan pakaian khas adat dengan ikat kepalanya lantas tampil menuturkan cerita dalam bahasa ibu masyarakat setempat. Meskipun mimik suaranya yang khas bergetar dan usianya hampir mencapai seabad, namun semangatnya untuk tampil layaknya kaum muda tampak kentara, hal ini dibuktikan dengan tuturnya yang mampu membius hadirin hinngga larut menyimak kisah sejarah yang selama ini jarang diperdengarkan generasi dikampung itu. Sekitar pukul 18.00 wib, kisah dari sang kakek pun berakhir. Kemudian sebagai tindak lanjut dari rangkaian pertunjukan sore itu, Senin malam (24/9) sekitar pukul 19.00 Wib pertunjukan kesenian pun kembali dimulai dalam sebuah rangkaian acara Pegelaran Seni Budaya. Kali ini rombongan tim disuguhi dengan beragam kesenian yang dipentaskan masyarakat Lubuk Besar. Tarian belulung, tari semanang, mengkana’, besasu (minum bersama ala warga kampung), numbuk padi dan bensi’ (meniup suling), serta kesenian silat adalah sederet atraksi yang dipertunjukkan. Termasuk pemutaran film dokumenter pada malam itu pun kembali diputar.

Nampuk Bukit Imbun
Selasa pagi tanggal 25 September 2007 tim rombongan bersama warga harus bersiap-siap karena akan mendaki ke Bukit Imbun, dimana setidaknya selangkah lagi akan memulai detik-detik puncak rangkaian kegiatan yakni mengadakan Ritual Nampuk Bukit Imbun. Dalam sejarahnya seperti dikatakan tokoh masyarakat setempat, Lali Suryadi (47), ritual nampuk telah dimulai sejak masa nenek moyang warga setempat. Nampuk dalam istilah setempat berarti naik, sedangkan Imbun konon berasal dari kata bertimbun (saat itu dikisahkan hasil panen padi Dara Nante dari Kerajaan Sanggau (penguasa bukit) berlimpah ruah/bertimbun. Bukit Imbun adalah sebuah bukit keramat bagi warga Lubuk Besar dan sekitarnya untuk menyampaikan doa/berniat kepada sang pencipta melalui penguasa bukit yakni Unyu’ dan Dara Nante. Nampuk Bukit Imbun merupakan rangkaian upacara ritual adat tahunan yang biasanya digelar pada saat ngempin (masa menjelang panen/saat padi mulai menguning). Dayak Inggar Silat mendaki bukit untuk menyampaikan niat dan doa bagi keselamatan kampung, terutama atas hasil pertanian ladang. Pun demikian, menurut keterangan warga acara Ritual Nampuk Bukit Imbun bukan hanya dilaksanakan pada saat padi mulai menguning saja, namun dapat juga dilakukan oleh siapapun yang ingin menyampaikan doa/berniat.

Tepat pukul 09.40 Wib, perjalanan bersama warga menuju arah matahari terbit (arah Bukit Imbun) pun dimulai. Sebanyak tiga puluh empat peserta termasuk tim dari Pontianak turut larut dalam perjalanan mengarungi indahnya pemandangan alam yang cukupp melelahkan. Sepanjang perjalanan dengan kontur hutan masih asri, rombongan nampuk Bukit Imbun harus melewati beragam rintangan mulai dari naik-turun bukit hingga harus menyeberangi Sungai Inggar. Medan berat ini pula sedidaknya menjadi tantangan tersendiri bagi rombongan sehingga beberapa kali harus istirahat untuk sekedar melepas lelah. Sekitar pukul 13.30 Wib rombongan akhirnya baru sampai pada pertengahan bukit. Ditempat inilah akhirnya rombongan nampuk mendirikan ntirung (pondok tempat nginap untuk beberapa malam) dan ganga rancak untuk tempat sesaji. Bagi warga setempat, lokasi tersebut bukanlah hal yang asing karena ditempat ini pula ritual-ritual Nampuk Bukit Imbun sebelumnya dipusatkan. Bahkan ditempat ini pula masih terlihat sisa ntirung dan ganga rancak (sejenis panggung kecil untuk menyimpan sesaji) yang telah rapuh dimakan masa. Di sekitar tempat ini rombongan diminta untuk tidak sembarangan membuat sesuatu dan harus betabi’ (minta ijin) sebelum memulai sesuatu.

Selasa malam (25/9) tepat pukul 19.30 lantas diadakan rangkaian pra ritual yakni bemaya’ oleh seorang imam dengan melantunkan ayat-ayat adat sambil menaburkan beras suci. Dalam acara bemaya’, dilengkapi dengan tiga mangkuk sabur (beras), beras suci dan pelita sebagai peraga ritual. Bemaya’ dimaksudkan untuk memberitahu gana (penguasa) Bukit Imbun agar tidak kemana-mana karena hari berikutnya akan diadakan ritual Nampuk Bukit Imbun. Rabu Pagi (26/9) pukul 08.20 Wib ritual nampuk Bukit Imbun pun dimulai. Mambang (50) dan Pikai (62) bertindak sebagai imam untuk mempersembahkan ritual dengan ayat-ayat adatnya (bermemang). Adapun perlengkapan sesaji dalam ritual ini diantaranya pegala’ (campuran ramuan ritual yang direbus terdiri dari; jawa jeli’/biji sejenis gandum yang dibungkus daun, sungkui 7 buah,ketupat kecil 3, telur ayam kampung 7 dan satu dipercahkan, serai, asam rangkai/kandis), ayam 7 ekor (1/2 ekor dipanggang), beras sabur 7 mangkok, cucur, minuman, air bunga, beras untuk alas ritual 7 mangkok, minyak, pulut pansuh (beras pulut merah-putih yang dimasak dalam bambu), pelita, ilum (sirih beserta isinya), ayam kecil satu ekor, letit (penganan dari padi yang dikeringkan pakai kuali), rokok daun, besi, uang 20 real, pohon ubah ribun, lumpang (bambu kecil yang tergantung di ganga rancak) dan ganga rancak.

Berbagai ramuan ritual tersebut selain dihampar melantai persis didekat gangga rancak, juga disimpan di dalam dua buah rancak ukuran kecil dan besar. Dalam rancak berisi berbagai ramuan ritual yang disediakan untuk dipersembahkan. Rancak besar kemudian lantas disimpan diatas ganga rancak yang diatasnya terpasang pohon ubah ribun. Dibagian bawah ganga rancak digantung lumpang dan ayam (hewan kurban). Sedangkan rancak kecil yang berisi ramuan yang sama disiapkan untuk dibawa ke Puncak Bukit Imbun. Usai ritual, sekitar pukul 09.40 Wib, rombongan lantas mendaki bukit menuju puncak bukit bersama kedua imam. Setiap rombongan diminta untuk membawa tanah dan batu sebagai syarat untuk naik kepuncak. Enam orang dari 34 rombongan tidak ikut naik bukit termasuk There (Ruai Tv) dan Endang (Borneo Tribune). Sekitar pukul 11.30 Wib, rombongan akhirnya sampai di puncak Bukit Imbun. Sesampai dipuncak kami lantas menuju sebuah batu besar yang tampak menjorok keatas sekitar hampir sepuluh meter. Batu ini menurut warga setempat dikenal dengan nama Batu Sandang Beliung, tempat menyimpan dana untuk berniat. Diatas batu inilah, rancak kecil akhirnya di pasang oleh imam (Pikai) disertai dengan ber-memang. Kemudian satu persatu dari rombongan dengan membawa uang logam naik diatas batu untuk menyampaikan doa (berniat). Menurut Lali Suryadi, konon menurut cerita orang tua dibukit ini ”raja melayu” meninggal, sehingga tidak heran bila Batu Sandang Beliung dianggap suci. Usai memanjatkan doa, rombongan kemudian beralih pada salah satu bukit kecil di Puncak Bukit Imbun. Oleh warga setempat bukit ini dikenal dengan Bukit Pemantau. Dikatakan pemantau, karena dibukit inilah mata kita bisa menerawang leluasa sejauh mungkin memantau (melihat) disekitar kaki bukit. Diatas bukit ini pula kami temukan kubangan binatang (babi) seekor ular berwarna hijau daun.

Setelah puas menikmati pemandangan di puncak bukit, rombongan akhirnya kembali ke Ntirung. Ditempat ini rombongan harus menginap untuk waktu satu malam. Esok harinya Kamis (27/9) pagi, rombongan akhirnya kembali ke kampung. Dalam perjalanan kekampung, rombongan dihadapkan pada tantangan derasnya Sungai Inggar karena hujan lebat malam itu. Untuk menyeberang rombongan harus menggunakan tenaga ekstra dan saling membantu. Sekitar pukul 12.00 Wib rombongan tiba di kampung. Pada hari itu pula, dua orang rombongan dari pontianak Lina (LBBT) dan Endang harus pulang. Sedangkan yang lainnya pulang esok harinya (28/9) setelah sebelumnya mengikuti evaluasi bersama panitia pada Kamis malam kala itu. Dengan demikian, rangkaian Ritual Bukit Imbun I akhirnya selesai. Selamat tinggal Bukit Imbun.

PT. IGP Gusur Kuburan Nek Singa Bauk


Tuntutan warga belum direspon perusahaan

Malang nian nasib warga Nahaya, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak. Alih-alih ingin mensejahterakan rakyat disekitarnya, PT. Ichtiar Gusti Pudi yang beroperasi disekitar daerah tersebut justeru membuat warga geram. Tidak puas membabat lahan yang diterima dari masyarakat untuk perkebunan kelapa sawit, lokasi kuburan tua warga setempat yang konon berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) pun turut digarap. Kuburan tua tersebut adalah tempat pemakaman Nek Bauk bersama keluarganya. Nek Singa Bauk yang bernama Nyangup berdasarkan catatan sejarah warga setempat adalah putra Nek Nginsit dari Binua Sangah (Ale Keranji Mancal) yang sejak tahun 1880 membuka kampung yang kini dikenal dengan Nahaya. Sebagai orang yang pertama dan juga adalah Temanggung Binua Nahaya yang pertama, maka tidak heran bila sebagian besar warga setempat adalah keturunan Nek Singa Bauk yang hingga kini telah mencapai sekitar tujuh keturunan yang di wilayah Binua Nahaya dan sekitarnya.

Menurut data keterangan warga, dari kuburan tua sedikitnya terdapat 36 kuburan tergusur yang masih dapat diingat oleh para keturunannya. Atas kejadian tersebut, warga setempat meminta pihak perusahan bertanggungjawab dengan mengajukan sejumlah tuntutan. Namun demikian, sejak di gusur 26 Juni 2007 lalu, hingga kini belum ada respon dari pihak perusahaan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Tabiat perusahaan malah justeru membuat warga kecewa, karena yang telah dilakukan hanya mengganti biaya untuk mengadakan ritual doa keselamatan (tolak bala) kampung saja. Mereka kecewa, karena kuburan tua tersebut adalah kuburan nenek moyang yang semestinya tidak diperlakukan sembarangan, apalagi sampai menggusurnya. ”Kita jelas merasa kecewa dengan kejadian ini, bagaimanapun mesti diproses dan ditindaklanjuti serta harus ada yang bertanggungjawab,” urai Ajan (67), dari garis keturunan Nek Selan (putra keempat Nek Singa Bauk).

PT. IGP berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalbar memperoleh legitimasi ijin lokasi seluas 12,760 ha dengan nomor surat ijin 65 tahun 2004 tertanggal tanggal 20 Oktober 2004 dan ijin HGU dengan nomor surat 31/HGU/BPN/1997 tertanggal 26 Mei 1997 seluas 7,740 ha. Dari data tersebut terlihat memang kurang singkron. ”Siapapun yang melakukan penggusuran dan penyerahan tanah tentunya harus diproses, karena siapa lagi yang akan menghormati hukum dan adat istiadat kita bila bukan dimulai dari kita sendiri,” tambah Buset menanggapi upaya penegakan hukum atas adanya indikasi orang dalam yang terlibat.

Respon lainnya juga muncul dari garis keturunan Nek Dagar (istrinya Nek Kamu’/putra pertama Nek Bauk) yakni Syaidan Ameng (55). Menurut Syaidan, dengan penggusuran tersebut sebagai bagian dari keturunan Nek Bauk pihaknya merasa dihina, diejek dan dilecehkan. Apalagi penggusuran kuburan tersebut dilakukan tanpa kompromi. Proses penyelesaian masalah tersebut menurut Syaidan sebelumnya telah diserah kepada lembaga adat yakni Temanggung Binua Nahaya, akan tetapi masih belum ada hasil. Pada awalnya pernah diwacanakan tuntutan nominal sekitar 1 milyar lebih dari seluruh kuburan yang digusur..

Namun demikian, berdasarkan rincian tuntutan yang dikeluarkan oleh Kepala Adat Wilayah Ketimanggongan Nahaya yang ditandatangani S. Salim Aseng tertanggal 21 September 2007, tuntutan material diajukan sebesar Rp. 117.122.000 yang dikategorikan dalam tiga hal menyangkut perbaikan kuburan, adat istiadat miara simati, dan adat perusak kuburan. Disamaping itu dalam rincian tersebut juga ditegaskan permohonan kepada pihak perusahaan (PT. IGP) untuk menyerahkan lahan Kebun Kelapa Sawit 60.73 lokasi di luar HGU kepada keturunan Singa Bauk. Permohonan ini sedikit aneh, karena selain akan dijadikan Kebun Keturunan Singa Bauk, dikatakan pula bahwa pihaknya akan bersedia bersedia mengembalikan biaya pembangunan kebun yang sifatnya cicilan kredit sebesar 30% per bulan yang dipotong melalui tandan Buah segar (TBS). Saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Salim Aseng mengaku proses penyelesaiannya telah diserahkan kepada Camat Kecamatan Ngabang.

Atas gelagat tuntutan tersebut, Syaidan Ameng (55) memandang sedikit aneh. Karenanya, dia berinisiatif mempertanyakan pertanggungjawaban pihak perusahaan yang secara lebih khusus mengajukan tuntutan atas satu kuburan milik Nek Dagar sebesar Rp. 30.000.000. Biaya tersebut seperti dijelaskan dalam suratnya yang pertama (22 September 2007) akan digunakan untuk proses perbaikan dan adat istiadat. Karena belum ditanggapi, maka Syaidan kembali melayangkan surat yang kedua dan ketiga masing-masing tanggal 10 Oktober 2007 dan 25 Oktober 2007. Dari suratnya yang terakhir karena merasa belum ada respon sedikitpun dari pihak perusahaan, Syaidan melalui pernyataannya mewakili keturunan Nek Dagar akhirnya meminta/melakukan penahanan atas alat berat (Bull Dozer) milik PT. BKM yang adalah perusahaan kontraktor yang dipekerjakan pada PT. Ichtiar Gusti Pudi (IGP). Hingga naskah ini selesai ditulis, pihak PT. IGP dengan kantor pusat di Pontianak beralamat di Jalan Untung Suropati Gg. Palapa 2, Nomor 2 Pontianak belum memberi respon atas tuntutan tersebut. Sementara pada saat bersamaan saat dikonfirmasi, nomor kontak Manager Umum (Asmadee Ahmad) PT IGP belum bisa dihubungi. Bagaimanapun keadilan atas hak-hak rakyat harus tetap ditegakkkan.

Warga Nguap Mendesah


By. Hendrikus Adam BR
Sungai Belantian yang adalah sumber air utama bagi warga telah berubah warna kekuningan akibat maraknya pertambangan sejak lama. Namun demikian, warga seolah tidak menghiraukan dampak yang akan muncul kemudian. Pada kenyataannya mereka tidak pernah "dididik" untuk itu. Adakah yang mau peduli pada nasib mereka dan generasi selanjutnya?

Matahari mulai tampak terik saat saya tiba di kampung Nguap sekitar pukul 11.30 Wib waktu itu. Kehadiran saya dikampung ini secara kebetulan. Kampung yang berjarak tidak terlalu jauh dari kota Ngabang kearah Sanggau sekitar satu jam lebih perjalanan dengan kendaraan roda dua ini memang tidak begitu ramai, sekitar 35 KK. Kala sepeda motor yang ditumpangi berlabuh dan lantas menginjakkan kaki, terdengar sayub auman mesin yang terkadang kurang jelas kedengarannya. Sesekali mesin tersebut kadang terhenti bernyanyi. Menurut keterangan beberapa warga setempat, suara mesin yang terdengar berasal dari aktivitas mesin para penambang yang tidak jauh dari kampung yakni ditepi sungai Belantian. Merasa penasaran, sayapun mencoba mencari informasi dan pergi kearah sumber mesin yang rupanya tidak begitu jauh kearah tepi sungai. Di tempat itu ternyata tengah beroperasi mesin donpeng berikut tiga orang pekerja tambang Kawal (32) cs yang sedang asik mengeruk tanah diatas motor air.

Pemandangan kala itu begitu kontras. Saat Kawal cs mengeruk tanah sumber emas ditepian sungai Belantian sedikit agak menjorok kedarat kearah hulu, dibagian hilir berjarak sekitar 20 meter seorang Bapak sedang asik mandi seolah tidak mau tahu atas apa yang terjadi meskipun air yang digunakan untuk mandi tampak kuning kecoklatan akibat aktivitas pertambangan. Bapak yang belakangan diketahui bernama Ijan (41) ini mengaku tidak khawatir mandi disungai tersebut karena merasa sudah terbiasa. ”Warga juga tidak khawatir karena pada awalnya tidak diberitahu ke masyarakat, sementara hasil donpeng tidak ada gunanya,” aku warga kelahiran kampung Tebedak polos. Menurut kisah Ijan, sebelumnya air sungai didaerahnya jernih dan mudah mencari lauk, namun sejak dimulainya pertambangan disepanjang Sungai Belantian pada tahun 1992, kondisi sungai lantas berubah.

Saat ini belum ada perhatian yang lebih serius atas nasib sungai warga Nguap dan kampung sekitarnya (Nyin, Ugan, Paloh, Rangkat Pinggan, tanjung Petai, Kersik, temahar, Sebadok, Berinang, Sendaun, Tebedak) yang turut menggunakan air sungai Belantian. Pihak aparatpun dinilai tidak bisa berbuat banyak bagi warganya dan masyarakat juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara aparat desa justeru ”bermain mata” dengan pemilik donpeng. ”Bila kekurangan air, kita cari di Kampung Tubang Raeng yang cukup jauh dari kampung ini. Kedepan saya berharap ada sumur yang disediakan bagi warga,” pintanya pasrah.

Kekesalan juga disampaikan Ropinus (39). Mantan Kadus Sendaun, Desa Tebedak ini mengaku susah bila mau mandi. Keinginan warga menurutnya malah pernah diajukan kepengurus, namun tidak pernah ditanggapi. ”Malah dianjurkan kewarga agar serahkan lahan untuk digarap. Sementara kepedulian donpeng tidak ada, ikan sekarang sulit dicari” akunya.

Khusus usaha tambang di tepian sungai di kampung Nguap menurut Ropinus baru dibuka sejak 8 tahun silam (1999). Keluhan lain juga disampaikan seorang ibu rumah tangga, Ilan (33). ”Saya tidak pernah melihat air sungai ini jernih dan untuk mandi sendiri tidak lagi khawatir karena sudah terbiasa,” jelas warga asal Kampung Pipin, Batang Tarang ini.

Sungai Belantian menurut keterangan Kawal adalah anak sungai yang bermuara di Sungai Landak. Disepanjang sungai tersebut dijelaskan sedikitnya sebanyak puluhan mesin donpeng yang beroperasi yang pemiliknya sebagian besar dari Ngabang dan Sekadau. Kawal yang memulai kerja menambang sejak usia 17 tahun mengaku banyaknya emas yang didapat tidak tentu. ”Dulu malah pernah tertinggi yang didapat sampai 50 gram perhari,” jelasnya.