Oleh Hendrikus Adam
Jika di tahun 2016 lalu, Lina, Santo, Rianto, Linus, Arina Enda dan sejumlah petani ladang lainnya di Binua Sunge Samak, kabupaten Kubu Raya merasa resah, kecewa dan bahkan marah atas tindakan pemadaman 'water bombing' via helikopter terhadap lahan ladang yang sedang dibersihkan dengan cara bakar oleh pemiliknya, maka fenomena tersebut akhir-akhir ini juga kembali membayang-bayangi petani di daerah. Bukan hanya upaya pemadaman via helikopter, tindakan patroli aparat (Polri dan TNI) untuk antisipasi kabakaran hutan dan lahan yang diantaranya turut menenteng senjata saat menemui petani di ladang, hingga saat ini masih menghiasi situasi di lapangan. Gambar yang sedang viral menampilkan seorang warga berada di lahan (ladang) yang telah dibakar seakan tengah diinterogasi aparat di daerah Bonti, Kabupaten Sanggau beberapa waktu terakhir mengkonfirmasi betapa situasi petani yang mengusahakan pangan dengan menekuni pertanian gilir balik masih belum “merdeka”.
Hakikat 72 tahun kemerdekaan, sepertinya urgen untuk direfleksikan kembali oleh segenap komponen bangsa di republik ini dalam pemaknaannya. Bahwa sebagai bangsa, peristiwa 72 tahun silam sejatinya menegaskan sekaligus menandai bahwa Indonesia terbebas dari belenggu bangsa kolonial. Namun demikian, tidak berarti telah memerdekakan segenap warga dan atau bangsa Indonesia dari berbagai bentuk penjajahan dengan berbagai tantangan yang ada saat ini. Situasi yang dihadapi petani, khususnya peladang mencerminkan hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya tersebut masih berlum diraih. Seakan, masih jauh panggang dari api.
Harus diakui, sejak lebih dari setengah abad pasca Indonesia menyatakan diri merdeka, setidaknya belum terlihat upaya pembinaan bagi praktik pertanian turun termurun yang digeluti komunitas selama ini. Kalaupun dianggap cara yang salah, sejauh ini pemerintah juga belum mampu memberikan solusi dengan menemukan teknologi pengganti yang efektif dan sungguh menjadi jawaban atas “cara bakar” yang selama ini digunakan petani dalam membersihkan ladang. Sekalipun berladang masuk sebagai model pertanian lahan kering (PLK) dalam istilah lazim pemerintahan, tetapi harus jujur sulit menemukan bentuk pembinaan yang diberikan negara selama ini.
Yang terjadi saat ini justeru praktik bertani ladang gilir balik dengan kearifan lokal yang dilakukan komunitas seakan sebagai praktik kejahatan, sementara warga yang melakukannya terkesan sebagai pelaku kejahatan (penjahat). Maklumat kepolisian mengenai larangan membakar hutan dan lahan/kebun, Intruksi Presiden 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, spanduk himbauan yang turut dipromosikan oleh TNI-Kodim1207/BS dan terakhir Maklumat yang secara terang menyebutkan larangan membakar ladang di Kapuas Hulu per Maret 2017, kemudian disertai dengan tindakan-tindakan “refresif” telah menjadi rujukan yang pelaksanaannya seakan tanpa pengecualian di lapangan. Kebijakan berikut tindakan lapangan aparat harus diakui telah melahirkan jarak antara negara dan rakyatnya sendiri.
Sebagai bangsa yang menyatakan diri telah merdeka, sudah semestinya negara merangkul segenap rakyatnya untuk mengisi kemerdekaan sesuai dengan peran masing-masing dan bukan malah membuat jarak dengan kebijakan dan tindakan yang melahirkan keresahan tanpa solusi yang mendamaikan.
Merawat Relasi
Kegiatan berladang yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat peladang selama ini penting dipahami sebagain bagian dari usaha untuk memperoleh sumber pangan sebagai hak asasi. Ini berarti bahwa, negara sejatinya memiliki kewajiban asasi sebagaimana amanah Undang-undang untuk memberikan jaminan pemenuhannya. Praktik berladang pada sisi lain juga memiliki relasi dengan keberadaan komunitas sebagai bagian dari pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Berladang pada sisi lain merupakan jalan untuk merawat nilai, ingatan maupun mempertahankan hidup dan kehidupan melalui usaha memperoleh pangan yang juga merupakan hak dasar tersebut. Tentu bukan sekedar mengusahakan pangan untuk memenuhi keperluan raga jasmani semata. Perjalanan panjang kegiatan berladang juga bagian penting dari siklus kehidupan yang melahirkan “peradaban” dan eksistensi suatu komunitas dengan kekhasannya. Dengan berladang, pesta padi sebagai ungkapan syukur padaNya, silaturahmi dan sukacita dirayakan.
Melalui ladang, pengetahuan tradisional, adat istiadat, nilai/norma, ingatan maupun harmoni itu terus dirawat dan dihidupi. Berladang juga tidak sesederhana yang ada dalam benak sejumlah pihak lebih cenderung menilainya sinis dan bahkan tidak sungkan menyatakan vonis sebagai biang petaka asap. Berladang menjadi bagian dari siklus kehidupan komunitas yang meyakini bahwa hutan, tanah dan air berikut sumberdaya lainnya tidak dapat terpisahkan.
Sebab itu, praktik warisan leluhur melalui ladang gilir balik yang dilakukan turun temurun sejatinya pula melukiskan bagaimana relasi antar sesama, relasi manusia dengan alam dan relasi manusia dengan Sang Pencipta itu terjadi. Pada sisi lain berladang gilir balik oleh komunitas sejatinya bukan seperti layaknya “ilmu menghitung” yang lantas semata memotret sisi ekonomis soal untung atau rugi. Praktik berladang sejatinya melampaui itu.
Dokumentasi WALHI Kalimantan Barat tahun 2016 atas praktik berladang yang dilakukan komunitas di Binua Sunge Samak, setidaknya mencerminkan kentalnya sikap bijak yang (seharusnya) mewarnai bagaimana berladang tersebut dilakukan.
Bukan Kejahatan
Adalah salah besar bila memahami praktik berladang yang dilakukan turun termurun oleh komunitas dari sisi luarnya semata; buka hutan/lahan, bakar dan timbullah asap. Ada sejumlah tahapan mewarnai praktik ladang gilir balik yang tidak terlepas dari adanya ritual adat dalam prosesnya. Pada sisi lain, tentu tidak tepat pula bila menyamaratakan bahwa setiap praktik membakar dan menimbulkan asap yang terjadi diseragamkan kemudian dianggap sebagai praktik yang sama sekali salah atasnama pencehagan kebakaran hutan dan lahan.
Praktik berladang turun termurun (dengan kearifan lokal) selama ini sejatinya penting dimaknai secara lebih waras dan benar. Ia bukan bentuk tindakan atau perbuatan terlarang yang lantas dianggap sebagai kejahatan. Demikian pula, pelaku ladang gilir balik bukan pula sebagai penjahat. Cara pandang yang lurus penting ada dalam menilai praktik berladang. Terlebih pada sisi konstitusi, negara sebagaimana pasal 69 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dengan tegas memberikan jaminan perlindungan atas praktik berladang.
Pada pasal tersebut menguraikan bahwa; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing”. Selanjutnya, pada bagian penjelasan dalam UU yang sama juga dengan mempertegas bahwa “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.
Jadi, tentu sangat jelas dan tegas bahwa negara melalui konstitusi memberikan perlindungan kepada petani terutama dalam hal ini praktik kegiatan berladang diwarnai dengan proses membakar sebagai sebuah metode untuk membersihkan lahan ladang. Tentu saja, sikap kehati-hatian melalui praktik kearifan lokal sebagaimana diwariskan leluhur sesuai dengan karakteristik masing-masing di komunitas penting dan mutlak kiranya mewarnai praktik kegiatan berladang. Dengan demikian, berladang dengan merdeka tanpa harus merasa takut mestinya dapat dirasakan.
Semoga kita semakin waras dalam memahami makna dan mewujudkan kemerdekaan bagi petani/peladang, bahwa merdeka itu adalah ketika berladang (dengan kearifan lokal) tidak dianggap kejahatan dan peladang tidak dianggap penjahat.
Karenanya, berladanglah dengan disertai kearifan lokal sebagaimana yang diwariskan leluhur dan negara harusnya memberi jaminan maupun perlindungan atas pelaksanaannya.
***PENULIS aktif di WALHI Kalimantan Barat sebagai Kadiv Kajian, Dokumentasi dan Kampanye. Peminat isu Lingkungan Hidup, Sosial Budaya, Masyarakat Adat, Demokrasi, Peace Building dan HAM.
Artikel ini terbit di Harian Suara Pemred, pada Minggu, 8 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar