Minggu, 08 Februari 2009

gagasan


Ramai-ramai Menjual Diri

Oleh Hendrikus Adam*

Kalimat yang kemudian menjadi judul dari tulisan ini tidak ditujukan untuk menyinggung para penjaja seks komersial (PSK). Tidak pula bermaksud mendeskreditkan mereka yang mencalonkan diri sebagai caleg di pemilu pada April 2009 mendatang. Tidak pula bermaksud mempersoalkannya. Bagi saya selagi pilihan mereka menjadi caleg didasarkan atas kesadaran sendiri dan adanya niat “mulia” yang bersangkutan, tentu bukan menjadi soal. Hak setiap pribadi tentu tidak bisa dibatasi. Menjadi caleg adalah sebuah pilihan politik seseorang. Memilih menjadi caleg sama halnya dengan pilihan golput yakni bagian dari hak politik seseorang yang harusnya memang dihargai. Namun beberapa waktu belakangan pilihan golput dipersoalkan lantaran keluarnya larangan melalui fatwa MUI.



Beberapa waktu lalu, seorang sahabat mempertanyakan kepada saya, “kenapa tidak jadi caleg?” Pertanyaan sahabat tadi mengelitik hati saya sekaligus membuat saya bertanya dalam hati, “atas pertimbangan apa beliau ini bertanya seperti itu?”. Namun saya hanya tersenyum kemudian menjawab santai dan bertanya kembali, “mengapa harus jadi caleg, apa itu caleg?” Jawaban saya tidak bermaksud menyepelekan caleg dan bukan pula saya alergi dengan dunia politik. Saya memang membatasi diri saja. Bagi saya apa yang di tanyakan sahabat tadi hanyalah soal minat, kesempatan, pilihan dan yang paling mendasar adalah soal kesadaran.



Bicara soal minat tentu nyambung dengan latar belakang pendidikan saya di kampus. Soal kesempatan, memang saat inilah massanya bagi siapa saja boleh mengajukan diri sebagai caleg (termasuk saya). Setiap menjelang pesta demokrasi (pemilu), para caleg disibukkan untuk menyiapkan diri dengan berbagai upaya dan strategi pemenangan. Terlebih diera sekarang, banyaknya partai yang muncul membuka kesempatan lebar bagi mereka yang mau mengadu nasib meraih simpati warga untuk duduk di kursi empuk di DPRD.



Bicara soal pilihan, saya memang memilih untuk tidak berminat menjadi caleg saat ini. Saya melihat perahu partai menjadi penting dimiliki bagi mereka yang mau maju caleg. Apalagi diorganisasi tempat saya berproses (PMKRI) keterlibatan sebagai caleg dan atau anggota serta pengurus sebuah partai selagi masih aktif sebagai pengurus memang tidak diperbolehkan. Ada etikanya dan saya rasa baik untuk menjaga integritas eksistensi organisasi. Karenanya perlulah rasanya sadar diri untuk tidak terlalu jauh. Hal ini saya yakini juga diberlakukan pada para rekan aktifis OKP lainnya seperti teman-teman di HMI, PMII, GMKI dan lainnya. Pun demikian, tentu tidak semuanya OKP melarang anggota dan pengurusnya untuk terlibat langsung dalam kancah politik sebagai anggota, pengurus dan bahkan caleg partai. Ini tentu dapat dimaklum. Masing-masing punya aturan main yang kemudian menjadi prinsip dasarnya yang harus dijaga bersama. Namun demikian saya sadar, diorganisasi saya berproses tentu memiliki sikap politik.



Terakhir soal kesadaran, saya rasa ini jauh lebih penting dan mendasar. Kesadaran yang dimaksudkan tentu lebih pas rasanya bila menjurus pada keadaan dimana seseorang mengetahui potensi dirinya berikut kemampuan yang dimiliki. Dalam bahasa sederhananya sadar diri menjadi penting. Pilihan yang dilakukan atas dasar kesadaran para dirinya tentu lebih baik ketimbang bila hanya didasarkan atas ambisi semata. Orang yang sadar diri tentu ia tahu bagaimana ia harus menempatkan diri ketika dihadapkan pada berbagai kenyataan, terlebih dalam menghadapi hasil sebuah pertarungan seperti pemilu.



Sebaliknya, orang yang memutuskan menjadi caleg karena ketidaksadaran yang dilandasi ambisi semata, maka hasil kecenderungan yang akan muncul adalah rasa ketidakpuasan, penyesalan dan cenderung menyalahkan pihak lain bila pada akhirnya tujuan politiknya tidak tercapai. Seringkali fenomena ini kita jumpai pada upaya saling sikut-sikutan yang terjadi baik antar maupun intern elit di Partai Politik.



Lebih menarik lagi, akhir-akhir ini bila kita cermati dari wajah pemilu yang akan dilewati dengan banyaknya partai sebagai peserta pemilu, kesan formalitas dan sistem kejar target sungguh fenomenal. Untuk memenuhi kuota seperti yang disyaratkan undang-undang sistem rekrutmen kader yang akan dijagokan, cenderung asal-asalan. Pun demikian, tidak sedikit juga yang mengabaikan ketentuan yang menggariskan kuota seperti ditetapkan. Sampai-sampai suatu ketika teman saya yang satu organisasi mengungkapkan keprihatinannya karena melihat moment pemilu sebagai moment aji mumpung. ”Masa’ menjadi caleg kok tidak tahu fungsinya, itu kan aneh” cetetuk sang teman.



Apa yang disampaikan seorang teman tadi memang telah menjadi kenyataan yang ada hari ini, meskipun diantaranya memang ada yang sudah cukup mengerti dan paham apa yang akan dilakukan bila terpilih sebagai wakil rakyat. Namun saya juga jadi maklumi celetukan teman tadi, bermaksud menyindir mereka yang mencalonkan diri seakan hanya suka-suka. Menjadi caleg seakan hanya ikut trend saja. Prinsip “yang penting pernah menjadi caleg” harusnya tidak tertanam. Tapi memang begitu kenyataan dari beberapa kondisi yang ada. Apalagi dengan mekanisme perolehan suara terbanyak, kesempatan para caleg untuk mempromosikan diri terbuka lebar. Sehingga akhirnya saya berpikir sederhana, "wajar saja masih ada caleg seperti dipersoalkan teman tadi".



Akhir-akhir ini pula, dapat kita amati upaya promosi diri yang dilakukan melalui berbagai bentuk media kampanye bertebaran dimana-mana. Simbol-simbol etnisitas dan bahkan agama turut menghiasi diri para caleg dalam berbagai media promosi yang ada. juga melalui atribut dalam gambar yang dikenakan. Pemilu menjadi ajang bagi setiap warga negara yang berkesempatan menjadi calon anggota legislatif untuk ”menjual diri” yang seringkali dibumbui dengan sederet kalimat pemanis. Menjual diri dengan berupaya menampilkan citra baik dimata masyarakat sudah sering ditemui. Tentu tidak asing lagi sesungguhnya.



Siapa yang akan dipilih, tentu sangat bergantung pada seberapa besar calon tersebut mampu meyakinkan konstituen untuk memilih dirinya. Sangat bergantung pula seberapa populer dan seberapa baik track record (rekam jejak) calon dimata masyarakat. Namun demikian hal itu bukan sebuah jaminan. Citra yang ditampilkan seringkali menipu. Topeng kehidupan seringkali dikenakan para calon wakil rakyat untuk menjual diri. Topeng juga seringkali kita gunakan tanpa sadar dalam kehidupan kita. Siapa diantara mereka yang akan laku, serahkan sepenuhnya pada rakyat. Dengan ramai-ramai orang menjadi caleg, semoga semakin ramai-ramai pula orang yang akan duduk di kursi DPRD hasil pemilu 2009 yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan daerah dan warganya. Akan tetapi saya rasa pantas diingat bahwa siapapun yang memperoleh suara terbanyak dan akhirnya duduk dalam kursi legislatif bukanlah sebuah jaminan "kesempurnaan" dari yang bersangkutan. Pastinya, mereka yang pada akhirnya terpilih memiliki kewajiban untuk menjalankan amanah sebagai sungguh-sungguh wakil rakyat. Selamat berjuang menarik simpati rakyat!

*) Penulis, Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak.

Tidak ada komentar: