Kamis, 16 Agustus 2007

Selamatkan Lingkungan


by. HENDRIKUS ADAM BR
Melakukan yang terbaik pada hari ini akan membawa anda ketempat terbaik di masa depan. Demikian ungkapan bijak Oprah Winfrey, pembawa acara termasyur. Gagasan Winfrey setidaknya membuka mata kita untuk bisa melihat ’warisan’ generasi terdahulu yang boleh dinikmati generasinya saat ini. Seperti bencana demi bencana yang mengalir tiada hentinya beberapa tahun terakhir. Disisi lain, statemen Winfrey dapat menjadi catatan refleksi untuk generasi saat ini yang diberi kesempatan melanjutkan warisan pendahulunya atas kondisi lingkungan dewasa ini.


Bencana banjir yang melanda sejumlah tempat di tanah air seperti wilayah Sambas dan Mempawah di bumi Kalimantan Barat dalam beberapa waktu lalu misalnya, kemudian terakhir banjir pula melanda beberapa wilayah Ambawang dan sekitarnya adalah satu dari sekian banyak bencana alam yang selama ini kerap kali menghiasi wajah bumi ini. Tidak hanya itu, pencemaran air karena penggunaan mercuri (air raksa) tidak pada tempatnya yang dilakukan secara serampangan, kabut asap dan kemarau yang berkepanjangan juga turut mewarnai perjalanan kondisi lingkungan kita dari hari kehari di bumi Khatulistiwa ini khususnya. Perdebatan wacana seputar bencana sebagaimana dimaksud, pun kerap kali dimunculkan dalam berbagai media. Bahkan beberapa waktu terakhir, isu mengenai pro-kontra pembukaan kebun kelapa sawit masih terus mengalir tiada ujung.

Saat terjadi kondisi memprihatinkan tersebut, pernahkah kita berpikir untuk mencari solusi sehingga kedepan kemungkinan terburuk sebagai ekses dari kondisi diatas dapat dikurangi? Ataukah kita tetap diam diri, dengan tetap berkomitmen dengan ego kita untuk serta menyumbangkan derma untuk meringankan beban (membantu) saudara-saudari kita, tanpa disertai upaya real (tindakan nyata) untuk menghentikan/mencegah permasalahan lingkungan yang pernah maupun akan terjadi? Dan ataukah perlu diselamatkan?

Bila kita merasa perlu, maka tentunya tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai. ”Mulailah saat ini, Mulai dari hal yang kecil dan Mulailah dari diri sendiri”, demikian pesan AA Gym melalui rumus 3Mnya. Bukankah sesungguhnya upaya menjaga keutuhan lingkungan untuk tetap lestari telah diserahkan kepada kita sebagai makhluk ciptaanNya? Maka tanggungjawab kita sebagai orang yang dipercaya untuk menjaga keberlangsungannya patut dipertanyakan. Mari kita refleksikan, sudahkah kita yang mengakui peduli terhadap lingkungan membuat hal nyata ”penyelematan” lingkungan?

Tentunya kita juga masih ingat, bagaimana akibat yang ditimbulkan sejumlah bencana yang ada akhir-akhir ini terjadi. Karena banjir, banyak rumah warga dan bahkan fasilitas umum tergenang dan tidak dapat melangsungkan aktivitas. Seperti banjir yang melanda di daerah sektar Sambas, dan di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena pennggunaan air raksa (merkuri) yang kurang bijaksana melalui aktivitas pertambangan emas, kebutuhan sumber air bersih untuk MCK jadi terbatas. Bahkan penyakit kulit pun turut menyertai sebagai akibat pengaruh senyawa jenis ini seperti yang terjadi pada kasus mina mata dan lainnya.

Demikian pula akibat kabut asap yang setiap tahunnya sejak 1997 selalu muncul hingga kini. Karena kabut asap beberapa waktu lalu, berbagai aktivitas jadi terganggu. Sekolah diliburkan, arus transportasi seperti bandara penerbangan terkendala, penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA) pun meningkat diderita warga. Bahkan karena kabut asap, peladang berpindah (petani tradisional) yang dikenal dengan kaerifan lokalnya melakukan pembukaan lahan pertanian sejak dahulu kala selalu menerima getahnya, justeru selalu dikambinghitamkan. Padahal harus diakui pula, bahwa maraknya kabut asap yang berawal sekitar tahun 1997 sebagian besar bersumber dari pembakaran lahan skala besar sebagai akibat dari adanya pembukaan lahan perkebunan (sawit, HPH dan sejenisnya). Lihat saja awal Maret lalu misalnya, kabut asap muncul lagi meski tidak berlarut, padahal bukan musim pembukaan lahan bagi peladang berpindah, tapi sebaliknya musim panen.

Hal sama juga terjadi pada tataran kebijakan pengembangan perkebunan sawit yang masih menuai pro-kontra, namun tetap ”dipaksakan” oleh pemegang/pembuat kebijakan (decesion maker). Dengan demikian, asas kedaulatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan dinegara republik ini jadi seakan terabaikan. Padahal konon, bukankah mereka refresentasi dari rakyat?

Tidak sedikit persoalan sebagai akibat negatif dari perkebunan jenis ini boleh dinikmati warga. Ketidakadilan muncul, perampasan hak dan tanah rakyat mengemuka. Hutan dengan sumber keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya telah mengalami degradasi, sementara sumber air jernih turut tercemari (misal Kasus Manis Mata, Ketapang, sungai kapuas dan sekitarnya di Kalbar ). Sebagai respon kesadaran atas kondisi seperti ini, maka tidak heran bila akhirnya warga (masyarakat adat) dibeberapa daerah seperti informasi data yang dihimpun beberapa lembaga sosial (NGO), menyatakan menolak atas ekspansi sawit didaerahnya.

Meski sering pula terdengar alasan klasik dari berbagai kalangan yang mengkleim diri sebagai pengamat bahwa kesalahan bukan pada tanaman sawitnya, namun pada pengelolaannya. Statemen ini memang telah biasa muncul, namun pertanyaannya; bila memang permasalahannya pada sistem manajemennya yang perlu diperbaiki, kenapa hingga kini persoalan tersebut terus berlanjut dan dialami? Pertanyaan ini patut kita refleksikan, bila di cermati lebih jauh, maka permasalahannya memang sangat logis terletak pada sistem manajemennya, yakni manajemen yang sengaja dikondisikan pihak yang berkompeten baik investor maupun pihak pemerintah sebagai pihak pemberi ijin. Disamping itu, satu alasan yang menguat berdasarkan pengamatan penulis disaat pihak pemerintah bersama investor bersikeras mempertahankan perkebunan sawit di beberapa daerah, karena harus diakui sawit sangat menggiurkan. Sawit sangat menjanjikan dan menguntungkan, khususnya bagi investor dan pemerintah daerah setempat. Karenanya tergiur keuntungan, maka tidak heran muncul manajemen yang menguntungkan secara sepihak. Sementara masyarakat, hanya bisa pekerja upahan dinegerinya sendiri dan gigit jari seakan ditakdirkan. Seperti halnya kasus sawit yang kini mencuat saat ini yang dialami warga Sebunga dan beberapa wilayah di kabupaten Sambas.

Alasan yang selalu logis kerap kali seringkali diimingi oleh pihak perusahaan misalnya bagaimana dengan kehadiran kebun sawit, dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Disamping itu dapat mensejahterakan rakyat, serta pembangunan infrastruktur (sarana jalan) dapat terbuka lebar. Sementara dampak dari sisi negatifnya tidak pernah diberitahukan kepada masyarakat. Ini merupakan kesalahan fatal yang semestinya terpikirkan sebelum melakukan ekspansi. Namun kenyataannya masyarakat tidak pernah dididik untuk mengetahui lebih dalam mengenai persoalan dari sisi negatifnya.

Semestinya apa yang disampaikan tidak diterima mentah-mentah, namun perlu dipahami bersama dimana tentu saja tidak semua apa yang disampakan itu benar. Sangat jelas misalnya, dengan adanya bentuk usaha apapun tentu membutuhkan tenaga. Karena kalau tidak, maka usaha tersebut tidak akan jalan (berlanjut). Termasuk perkebunan sawit. Mengenai kesejahteraan, tentu saja sangat relatif ukurannya. Dalam jangka pendek mungkin saja benar adanya, dapat memberikan kesejahteraan bagi petani. Disamping itu dampak hal demikian juga mendidik masyarakat berpikir instan. Namun pantas dipertanyakan, siapa yang bisa memberikan jaminan dengan membuka perkebunan sawit warga masyarakat dilingkungan setempat bisa sejahtera bagi setiap generasi? Untuk pembangunan infrastruktur, juga bukan alasan yang mendasar sehingga dapat dikatakan membenarkan (melegalkan) dibukanya perkebunan sawit, terutama bagi warga kampung yang menginginkan agar lingkungan mereka tetep terjaga. Karena sesungguhnya adalah menjadi kewajiban pemerintahlah untuk mengupayakan pembangunan bagi warganya termasuk sarana infrastruktur jalan tanpa harus ”merampas” kekayaan SDA yang ada. Dan menjadi hak warga untuk terpenuhinya kebutuhan dasarnya sebagai warga negara seperti pendidikan dan kesehatan, termasuk pengadaan sarana infrastruktur lainnya.

Melihat kondisi lingkungan dengan berbagai gejala dan akibat yang menyertainya, maka semestinya upaya reflektif dan rekonsiliasi bagi lingkungan perlu terus dilakukan. Gerakan penyadaran dan penyelamatan atas lingkungan hidup hendaknya tidak hanya disandarkan pada lembaga sosial (NGO, masyarakat adat, mahasiswa dan sejenisnya) maupun masyarakat sebagai kontrol, namun pihak eksekutif maupun legislatif seharusnya memulai menjadi inisiator dalam meletakkan fondasi kebijakan secara bijaksana untuk lingkungan dan warganya. Disampaing itu, semestinya aspirasi mengenai lingkungan yang disuarakan tidak membuat berbagai pihak menjadi alergi untuk meresponnya.

Upaya perumusan kebijakan dengan mendasarkan kepentingan warga banyak diatas kepentingan perorangan tanpa mengesampingkan aspirasi rakyat yang berkembang akan menjadi lebih baik dalam mewujudkan upaya penegakan dan penyelamatan lingkungan kita mulai hari ini. Dimana, bukan hanya warga masyarakat yang aktif merangkul berbagai pihak, namun pihak eksekutif, legslatif serta kalangan elit pun semestinya dapat berbuat lebih, dalam kerangka menggalang dukungan bersama untuk penyelamatan lingkungan. Bila tidak bisa dilakukan, maka ungkapan isnpiratif Winfrey akan tetap menjadi impian semu yang tidak akan pernah terwujud. *


Hendrikus Adam BR
Sekretaris Jenderal PMKRI Santo Thomas More Cabang Pontianak ,
Anggota Sahabat Lingkungan Kalimantan Barat (SALAK),
Pegiat Kelompok Diskusi MATUK Asrama SEPAKAT

Tidak ada komentar: