Selasa, 09 Maret 2021

Mengenang Kebangkitan Peladang 9 Maret


 
Oleh Hendrikus Adam


Awal Februari tahun 2021 - beberapa waktu lalu, kebakaran hutan dan lahan yang disertai dengan bencana kabut asap menghampiri sekitar wilayah Kalimantan Barat. Sejumlah titik mengalami kebakaran yang sontak membuat sejumlah pihak ‘kasak kusuk’, termasuk di wilayah Kota Pontianak. Lahan gambut di daerah ini kembali mengalami kebakaran dan bahkan nyaris melahap bangunan asrama mahasiswa.

Pihak Kepolisian Kalimantan Barat bersama Pangdam XII Tanjungpura dan pemerintah provinsi Kalbar pun menggelar rapat koordinasi antar lembaga dalam rangka upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla dengan menghadirkan pemerintah kabupaten/kota, jajaran kepolisian dan para pihak terkait. Sejurus dengan situasi itu, status siaga darurat karhutla pun ditetapkan Gubernur Kalimantan Barat seraya meminta agar penetapan status siaga darurat turut diikuti oleh pemerintah kabupaten/kota yang belum mengambil keputusan.


Hal yang menarik dengan bencana asap yang melanda Kalbar akhir-akhir ini adalah saat Peladang yang selama ini kerap ‘dikambinghitamkan sebagai penyebab karhutla’ justeru jelang dan sedang mulai memasuki musim panen padi ladang yang kini telah menguning. Bahkan Penulis saat mengunjungi masyarakat di komunitas Dayak seberuang daerah Sintang sekitar awal Februari 2021 lalu turut menikmati pam atau emping hasil panen padi pulut di ladang.

Situasi bencana asap akibat karhutla di awal tahun serupa, mengingatkan pada kejadian di tahun sebelumnya, seperti di 2014 – sebanyak lima perusahaan kala itu diproses hukum oleh pihak kepolisian atas dugaan terlibat karhutla. Salah satu diantaranya merujuk berita media kemudian di hentikan proses hukumnya (di SP3-kan), sedangkan 4 perusahaan sisanya terkesan menguap – tanpa kabar.

Biang Penyebab Asap?

Bila melihat sejarahnya, sejak lama Peladang kerap dituduh sebagai biang kebakaran yang menyebabkan petaka asap. Bahkan sikap sinis atas praktik berladang dengan berkearifan lokal yang dilindungi Undang-Undang tersebut seolah ‘terlembaga’ sebagaimana disampaikan sejumlah oknum pejabat selama ini. Sementara jalan keluar sebagai solusi permanen dari pemerintah terhadap Peladang selama ini tidak kunjung tiba. Bahkan Peladang yang mengusahakan pemenuhan hak atas pangannya selama ini terabaikan tanpa mendapat perhatian.


Pada kejadian karhutla tahun 1997 misalnya, Ir. Karsan Sukardi saat itu sebagai Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat menuduh Peladang sebagai penyebabnya. Kemudian tahun 2018, (alm) Sutopo Purwo Nugroho selaku Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB menyampaikan hal serupa. Menurutnya tradisi ‘gawai serentak’ sebagai kebiasaan persiapan musim tanam dengan membuka lahan dengan cara bakar. Selanjutnya pada September 2019, Bapak Wiranto yang kala itu selaku Menkopolhukam RI menyebut kebakaran diakibatkan gara-gara Peladang. Bahkan dalam pernyataannya sebagaimana dikutip media, akan meminta korporasi jadi bapak asuh bagi para Peladang agar diberikan pelatihan untuk tidak membuka lahan dengan cara bakar. Respon atas pernyataan tensensius oknum pejabat publik tersebut, hanya pernyataan tahun 2019 yang luput dari sanksi adat kala itu.

Hal lain yang cukup menggelitik adalah “Pengumuman” dalam bentuk papan plang berlogo Departemen Kehutanan yang diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) Seksi Konservasi Wilayah I Sukadana yang menulis pesan bahwa “Membuka LADANG dengan cara MEMBAKAR adalah perbuatan TIDAK BIJAKSANA”.

Nada miring lainnya terhadap Peladang tergambar dari sejumlah kebijakan dan tindakan lapangan pasca kebakaran meluas di Indonesia tahun 2015, disusul dengan terbitnya kebijakan yang kerap disalahpahami dalam pelaksanaannya hingga terkesan tidak berpihak pada Peladang seperti; Maklumat Kepolisian 2015 – 2018 – 2020, Inpres 11 tahun 2015, Kampanye larangan membakar, sosialisasi larangan oleh korporasi disertai ancaman sanksi, ajakan meninggalkan ladang, Maklumat bersama Forkopimda Kapuas Hulu serta sempat terbit Surat Edaran Kodim 1206/PTS yang secara tersirat menyebutkan larangan pembakaran ladang. Peladang di Gernis Jaya, Kecamatan Sepauk bahkan pernah mengalami situasi miris dengan dipasangnya segel Polsek setempat di ladang dengan anggapan sebagai lahan bekas kebakaran sehingga dalam pengawasan yang tidak boleh dikerjakan. Jauh sebelum kejadian karhutla meluasi tahun 2015 di Indonesia, Permen Lingkungan Hidup 10 Tahun 2010 telah menyiratkan sandungan bagi Peladang berkearifan Lokal.

Terbitnya Pergub 103 tahun 2020 pada 16 Juli 2020 tentang Pembukaan Areal Lahan Pertanian Berbasis Kearifan Lokal yang seolah menjadi satu-satunya aturan dan seolah pula sebagai jawaban atas rasa cemas dialami Peladang sebetulnya hanyalah penegasan dari aturan diatasnya melalui adanya peraturan di tingkat daerah. Karena sesungguhnya payung hukum perlindungan pertanian berbasis kearifan lokal terutama praktik berladang sebetulnya telah ada dan ditegaskan sebagaimana pada beberapa ketentuan seperti Konvensi ILO 169, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Permen LHK 34 tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Berbasis Kearifan Lokal. Soal Pergub 103 tahun 2020, Penulis memiliki catatan serius tersendiri atas aturan ini yang penting menjadi perhatian dimana salah satunya mengenai ambigunya gambaran mengenai Peladang.

Papan plang yang di pasang di Jalan Siduk yang menyebutkan membuka ladang dengan cara membakar bukan perbuatan bijaksana dan sejumlah ‘aturan larangan’ yang terbit kemudian mengkonfirmasi bahwa adanya pemahaman yang keliru seputar akar persoalan asap salama ini. Bahkan sorotan terhadap Peladang yang kerap dikambinghitamkan sebagai penyebab karhutla justeru terlihat lebih dominan bila dibandingkan atensi penegakan hukum atas kasus karhutla yang disebabkan oleh korporasi selama ini. Kasus karhutla yang melibatkan korporasi selama ini tampak dominan berujung pada sanksi asministratif berupa surat peringatan sebagaimana kejadian tahun 2019 silam di Kalimantan Barat. Lantas akan berakhir seperti apa lagi nasib 28 konsesi yang diduga terlibat kasus karhutla sebagaimana dirilis pemerintah provinsi Kalimantan Barat pada Kamis, 4 Maret 2021 lalu?

Momentum (Hari) Kebangkitan Peladang

Keberpihakan putusan pengadilan yang membuahkan vonis bebas bagi enam Peladang asal Sintang menjadi presenden baik penegakan kebenaran dan keadilan dalam proses hukum kasus petani di Kalimantan Barat. Sebagaimana putusan yang dibacakan Hakim Pengadilan Negeri Sintang pada 9 Maret 2020, teranglah membuktikan bahwa membakar untuk ladang dengan berkearifan lokal bukan termasuk dalam kategori kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).


Dengan demikian, putusan PN Sintang dengan nomor masing-masing; 249, 250, 251, 252 - /Pid.B/LH/2019/PN Stg menegaskan bahwa keenam Peladang yang didakwa tidak terbukti bersalah, sehingga berladang dengan berkearifan lokal adalah sah secara hukum dan dilindungi Undang-Undang. Sehari berikutnya, Peladang asal Bengkayang yang juga sempat diproses hukum akhirnya turut dibebaskan pihak Pengadilan Negeri setempat. Di balik terobosan hukum yang menarik atas vonis bebas tersebut, kasus hukum dua Peladang asal Sanggau justeru mendapat vonis bersalah dengan hukuman dua bulan satu hari penjara dengan denda 1 juta rupiah sebagaimana putusan PN Sanggau pada 30 Maret 2020. Sementara dua perusahaan sawit terkait kasus ini sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian justeru raib tanpa kabar.

Vonis bebas terhadap enam Peladang di Sintang merupakan 'tonggak kebangkitan' bagi perjuangan Peladang. Putusan bebas terhadap enam Peladang sedianya menjadi momentum penting untuk memastikan kemerdekaan bagi para Peladang dalam mengusahakan pangan untuk kedaulatan mengusahakan pangan dan keberlanjutan kehidupan mereka. Situasi ini hendaknya menjadi tonggak penting guna memastikan Peladang tetap berdaulat atas pangan dan sumber kehidupannya yang diikuti dengan produk hukum yang jelas dan tegas berpihak pada mereka. Sebuah ruang untuk merefleksikan kembali agar jangan ada lagi Peladang berkearifan lokal yang dipersalahkan dan diproses hukum dalam mengusahakan penghidupannya karena berladang.

Bebasnya enam Peladang asal Sintang, juga dua Peladang asal Bengkayang kala itu sejatinya momentum penting guna meneguhkan keberpihakan pada praktik berladang berkearifan lokal oleh masyarakat di komunitas. Momentum dimana segenap elemen rakyat pro Peladang menggemakan keberpihakan agar dibebaskannya para Peladang yang dipersalahkan hingga dipaksa menjalani proses hukum.


Kini (9 Maret 2021), tonggak yang menandai gerakan kesadaran dan solidaritas bersama untuk perjuangan hak dan kedaulatan, pembebasan sekaligus kebangkitan bagi Peladang kembali dikenang. Menjadikan desakan asa untuk kebebasan dan kemerdekaan Peladang satu tahun silam sebagai momentum, sekaligus kesempatan mengenang maupun merefleksikan bangkitnya perjuangan untuk kedaulatan dan pemenuhan hak-hak Peladang. Momentum untuk mengingatkan bahwa sejumlah oknum/perusahaan pembakar harus ditindak tegas dan nada miring oknum birokrat terhadap Peladang hendaknya tidak terus terulang. Sementara Peladang harus tetap berladang tanpa khwatir dengan berkearifan lokal yang dilakukan secara terkendali.

Momentum 9 Maret, satu tahun silam yang kembali diulangi mengundang segenap pihak yang memiliki itikad baik untuk bangkit, bergerak dan berpihak pada usaha pemenuhan hak dan kedaulatan Peladang. Dengan demikian, menjadi relevan kiranya bila momentum 9 Maret tersebut dikenang sebagai Hari Kebangkitan Peladang di Nusantara yang kita cintai bersama ini.

***Penulis Kadiv Kajian dan Kampanye WALHI Kalimantan Barat, juga sebagai Direktur Eksekutif Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat.


Rabu, 19 September 2018

Kebijakan Karhutla dan Tantangannya bagi Peladang

Penulis saat berada di lahan ladang milik Pak Kamis, warga Desa Nanga Pari di Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang pada hari Kamis (23/8/2018).





Oleh Hendrikus Adam[1]

Dalam beberapa tahun terakhir pasca kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan petaka asap hebat tahun 2015 pada sedikitnya 7 provinsi di Indonesia, keinginan untuk keluar dari persoalan ini ditegaskan pemerintah dengan lantang. Presiden Joko Widodo misalnya menegaskan; tahun 2015 Indonesia bebas (bencana) asap. Pernyataan komitmen ini kemudian disusul dengan lahirnya aturan juga himbauan untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat.

Tertanggal 24 Oktober 2015 misalnya, Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 11 tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Inpres ini mengamanahkan untuk meningkatkan penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan lahan. Salah satu poin dari Inpres tersebut meminta agar Para Gubernur dan Bupati/Walikota untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha pertanian yang tidak melaksanakan pengendalian kebakaran lahan yang menjadi tanggungjawabnya.

Di Kalimantan Barat, sebelum terbitnya Inpres ini, bahkan lebih dulu terbit Maklumat Kepolisian tentang Larangan Membakar Hutan dan Lahan/Kebun tertanggal 7 Juli 2015. Maklumat ini meminta seluruh warga masyarakat dan pihak manapun di Kalimantan Barat agar tidak melakukan pembakaran lahan, hutan dan kebun atau tindakan lain dengan tujuan apapun, baik sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menimbulkan terjadinya bahaya asap dan rusaknya lingkungan hidup serta gangguan kesehatan dan kegiatan masyarakat lainnya. Dalam maklumat tersebut juga termuat ancaman pidana 3 hingga 10 tahun dan denda 15 milyar rupiah.

Terbitnya Maklumat dan Inpres memicu langkah peningkatan pengendalian karhutla susulan oleh sejumlah pihak terkait di lapangan. Di Kalimantan Barat, TNI melalui Kodim 1207/BS turut melakukan kampanye dengan memasang spanduk pada sejumlah titik tentang larangan melakukan pembakaran lahan dan hutan yang disertai dengan informasi ancaman pidana dan denda milyaran rupiah. Selanjutnya disusul terbitnya Maklumat Bersama tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun yang disampaikan Forkompimda Kapuas Hulu tertanggal 13 Juli 2016 yang masing-masing turut ditandatangani olehBupati Kapuas Hulu, Kapolres, Dandim 1206/PSB, Kejari, Ketua DPRD dan Ketua Pengadilan. Larangan ini turut disertai dengan ancaman pidana dan denda milyaran rupiah.

Maklumat Kepolisian tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan tertanggal 7 Juli 2015 yang ditandatangani Kapolda Kalimantan Barat juga diperbanyak dan turut disosialisasikan oleh sejumlah perusahaan perkebunan dengan memasangnya pada sejumlah areal konsesi usahanya. Salah satu baliho tentang maklumat ini misalnya di pasang dalam wilayah konsesi PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) yang pada tahun 1997 memiliki kebijakan untuk membersihkan lahannya dengan cara bakar. Bahkan baliho maklumat kepolisian juga dipasang pada sejumlah kantor perusahaan  seperti pada kantor PT. Fisrt Resources di Komplek Perdana Square, Kota Pontianak kala itu.

Selanjutnya pada 10 Maret 2017 lalu bahkan diterbitkan Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun/Ladang oleh Koramil 121/ABW dan Kodim 1206/PSB.  Pada surat edaran ini yang ditandatangani Komandam Kodim 1206/PSB itu secara tersirat disebutkan dengan tegas mengenai larangan pembukaan lahan/ladang dengan cara bakar. Pelanggaran atas edaran ini akan disanksi pidana dan denda milyaran rupiah.

Pemerintah Kalimantan Barat terutama sejak ditabuhnya status siaga darurat bencana sejak Januari 2018 lalu telah menetapkan 182 desa rawan bencana (kebakaran) pada 71 kecamatan dalam wilayah 14 kabupaten/kota, Kalimantan Barat. Situasi ini disusul dengan hadirnya 3 unit helikopter yang siap digunakan untuk patroli dan pemadaman kebakaran di lapangan. Hal yang mengelitik adalah pihak BPBD Kalbar akan tetap melakukan pemadaman via bom air atas pembersihan ladang warga yang berada pada 182 desa sekalipun berada di tanah mineral (Wahana Kita, Maret 2018). Ini berarti bahwa kegiatan berladang sekitar kebijakan larangan membakar merupakan tindakan terlarang sekalipun tidak dianggap sebagai biang petaka asap selama ini.

Beranikan Masyarakat Antisipasi Karhutla
Musim panas yang sedang berlangsung dalam beberapa waktu terakhir tanpa ada hujan memang menjadi rentan bagi sejumlah lahan maupun kawasan berhutan kritis mengalami kekeringan. Terutama pada sekitar wilayah ekosistem gambut yang telah dibuka dalam skalanya yang luas seperti untuk konsesi industri ekstraktif (korporasi) selama ini yang kondisinya jauh lebih sangat rentan. Situasi ini bila tersulut api baik disengaja maupun tidak menjadi mudah mengalami kebakaran. Apa yang terjadi pada beberapa tempat dalam waktu terakhir mengkonfirmasi situasi dimaksud.

Karena itu, semua pihak termasuk masyarakat terutama di sekitar wilayah rentan untuk dapat lebih berhati-hati dan proaktif memastikan agar langkah pencegahan sebagai bagian dari antisipasi Karhutla menjadi penting dilakukan bersama. Dengan situasi ini, kita berharap agar tidak ada rasa was-was lagi dirasakan masyarakat seiring dengan kebijakan antisipasi Karhutla yang selama ini justeru berpotensi menyebabkan resiko Karhutla terjadi.

Jika upaya pemadaman atau antisipasi Karhutla kita diyakini harus dilakukan dengan melibatkan segenap komponen, maka masyarakat pengampu kearifan lokal di akar rumput juga mestinya harus dirangkul dan dilindungi hak-haknya. Tanpa harus dibuat takut. Beberapa minggu lalu, penulis mendapat kabar dari masyarakat di daerah Tae (Sanggau), bahkan ada warga yang saat membakar lahan ladangnya justeru disiram helikopter. Nah, hal seperti ini harusnya tidak perlu terjadi. Apa lagi selama ini yang kita tahu pembukaan lahan untuk berladang umumnya di tanah mineral. Jangan sampai, akibat tindakan yang terkesan serampangan justeru membuat masyarakat di daerah merasa takut untuk mengusahakan hak atas pangan yang merupakan hak asasi melalui kegiatan bertani turun temurun yang mereka geluti selama ini.

Saat berada di Sungai Enau kemarin (20/7/2018), kita bahkan mendapat informasi kalau tahun lalu ada keluarga yang tidak dapat menanam padi karena lahannya tidak dibersihkan. Mereka merasa takut dibom air dan takut ditangkap bila membersihkan lahan ladangnya dengan cara bakar. Ini tentu persoalan serius. Bila warga yang adalah rakyat berusaha memenuhi hak asasinya dengan bertani merasa takut akibat kebijakan, lantas apa artinya kehadiran negara melalui aparatur pemerintah di republik ini untuk memastikan pemenuhan hak dasar bagi rakyatnya? Pada situasi ini, masyarakat di akar rumput perlu dibuat berani untuk terlibat mengantisipasi karhutla dan bukan sebaliknya! Rasa takut yang dialami masyarakat khususnya pengolah lahan akibat kebijakan antisipasi karhutla justeru hanya akan menimbulkan resiko akutnya masalah karhutla dan persoalan baru di lapangan.

Kepada masyarakat luas, dimusim asap akan baik bila melakukan antisipasi bila harus berpergian keluar rumah dengan mengenakan pelindung yang dapat mencegah paparan asap secara langsung. Sementara bagi petani penggarap lahan pertanian khususnya para peladang, pastikan praktik pembersihan lahan dilakukan dengan terkendali sesuai kearifan lokal selama ini sebagaimana pula diamanahkan Undang-undang.

Apresiasi dan Koreksi Penegakan Hukum
Keterlibatan sejumlah pihak, termasuk aparat terkait memadamkan api pada lokasi kebakaran akhir-akhir tentu patut diapresiasi. Namun demikian, praktik pemadaman via bom air yang dikomandoi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar maupun patroli lapangan oleh aparat hendaknya sungguh memperhatikan karakteristik dan kondisi masyarakat lokal sekitar. Jangan sampai, praktik bom air yang serampangan seperti tahun-tahun sebelumnya justeru terulang dan pada akhirnya justeru menimbulkan masalah baru bagi masyarakat.

Terkait dengan patroli yang dilakukan aparat guna mengantisipasi Karhutla, sangat diharapkan agar lebih humanis dengan mengedepankan sisi kemanusiaan. Kita akan sangat mengapresiasi bila aparat di lapangan tidak membekali diri dengan senjata (senapan api). Karena secara fsikologis tentu hal ini dapat berdampak buruk bagi kerja-kerja antisipasi Karhutla yang dilakukan. Termasuk dapat menimbulkan persepsi yang buruk bagi negara di mata warganya karena mengesankan seolah bahwa bertani ladang adalah kejahatan, atau sejumlah pendapat sinis lainnya.

Tentu langkah antisipasi dengan mengoptimalkan sumberdaya yang ada dengan memperhatikan efektifitas dan efisiensi serta turut merangkul masyarakat di akar rumput mencegah terjadinya kebakaran meluas menjadi penting dilakukan. Selain itu, penyampaian informasi yang memadai mengenai apa dan kemana warga yang mengetahui kejadian kebakaran untuk mendapat bantuan penanganan segera dari pihak terkait juga penting disampaikan.

Catatan penting lainnya terkait kasus karhutla adalah pentingnya keterbukaan dan sikap tegas aparat penegak hukum terhadap kasus karhutla yang melibatkan korporasi untuk ditindak tegas. Selama ini belum terlihat ada kemauan serius terkait penyelesaian hal ini sehingga mengesankan bahwa penegakan hukum cenderung tajam kebawah namun tumpul keatas. Bila perlu situasi dimaksud penting menjadi atensi Kapolri sehingga harus menjadi bahan evaluasi dan refleksi dari sisi penegakan hukum kasus karhutla yang melibatkan korporasi di Kalimantan Barat selama ini.

Pelibatan masyarakat dengan menghormati kearifan lokal yang dimiliki sebagai bagian dari upaya antisipasi karhutla menjadi penting dan mendesak. Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup telah menegaskan perlindungan praktik dengan memperhatikan kearifan lokal. Selain itu, negara juga memiliki kewajiban memastikan terpenuhinya hak atas pangan warganya yang merupakan hak asasi. Dengan demikian praktik bertani ladang turun temurun secara terkendali sesuai kearifan lokal selama ini mestinya tidak menjadi persoalan di tengah usaha antisipasi karhutla. Sebab praktik berladang sesungguhnya melampaui 'ilmu menghitung' yang syarat dengan praktik kebijaksanaan lokal. Tidak cukup hanya dapat dipotret dari aspek ekonomi semata, tetapi juga harus dilihat dari sisi keberlanjutan kehidupan meliputi sosial budaya, adat dan spiritualitas.





[1] Penulis Kadiv Kajian, Dokumentasi dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.


ARTIKEL INI SEBELUMNYA TELAH TERIBT DI KOLOM OPINI HARIAN PONTIANAK POST PADA 15 AGUSTUS 2018 LALU DAN BARU DIPOSTING DALAM BLOG INI.

Selasa, 24 Oktober 2017

Berladang Bukan Kejahatan

BENDERA MERAH PUTIH selalu dipasang oleh masyarakat peladang
sekitar lahan ladangnya, terutama saat Ritual Adat Ngelaboh Pon maupun
saat pesta pada komunitas Masyarakat Adat Dayak Iban di Sungai Utik
dan sekitarnya.























Oleh Hendrikus Adam

Jika di tahun 2016 lalu, Lina, Santo, Rianto, Linus, Arina Enda dan sejumlah petani ladang lainnya di Binua Sunge Samak, kabupaten Kubu Raya merasa resah, kecewa dan bahkan marah atas tindakan pemadaman 'water bombing' via helikopter terhadap lahan ladang yang sedang dibersihkan dengan cara bakar oleh pemiliknya, maka fenomena tersebut akhir-akhir ini juga kembali membayang-bayangi petani di daerah. Bukan hanya upaya pemadaman via helikopter, tindakan patroli aparat (Polri dan TNI) untuk antisipasi kabakaran hutan dan lahan yang diantaranya turut menenteng senjata saat menemui petani di ladang, hingga saat ini masih menghiasi situasi di lapangan. Gambar yang sedang viral menampilkan seorang warga berada di lahan (ladang) yang telah dibakar seakan tengah diinterogasi aparat di daerah Bonti, Kabupaten Sanggau beberapa waktu terakhir mengkonfirmasi betapa situasi petani yang mengusahakan pangan dengan menekuni pertanian gilir balik masih belum “merdeka”.

Hakikat 72 tahun kemerdekaan, sepertinya urgen untuk direfleksikan kembali oleh segenap komponen bangsa di republik ini dalam pemaknaannya. Bahwa sebagai bangsa, peristiwa 72 tahun silam sejatinya menegaskan sekaligus menandai bahwa Indonesia terbebas dari belenggu bangsa kolonial. Namun demikian, tidak berarti telah memerdekakan segenap warga dan atau bangsa Indonesia dari berbagai bentuk penjajahan dengan berbagai tantangan yang ada saat ini. Situasi yang dihadapi petani, khususnya peladang mencerminkan hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya tersebut masih berlum diraih. Seakan, masih jauh panggang dari api.

Harus diakui, sejak lebih dari setengah abad pasca Indonesia menyatakan diri merdeka, setidaknya belum terlihat upaya pembinaan bagi praktik pertanian turun termurun yang digeluti komunitas selama ini.  Kalaupun dianggap cara yang salah, sejauh ini pemerintah juga belum mampu memberikan solusi dengan menemukan teknologi pengganti yang efektif dan sungguh menjadi jawaban atas “cara bakar” yang selama ini digunakan petani dalam membersihkan ladang. Sekalipun berladang masuk sebagai model pertanian lahan kering (PLK) dalam istilah lazim pemerintahan, tetapi harus jujur sulit menemukan bentuk pembinaan yang diberikan negara selama ini.

Yang terjadi saat ini justeru praktik bertani ladang gilir balik dengan kearifan lokal yang dilakukan komunitas seakan sebagai praktik kejahatan, sementara warga yang melakukannya terkesan sebagai pelaku kejahatan (penjahat). Maklumat kepolisian mengenai larangan membakar hutan dan lahan/kebun, Intruksi Presiden 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, spanduk himbauan yang turut dipromosikan oleh TNI-Kodim1207/BS dan terakhir Maklumat yang secara terang menyebutkan larangan membakar ladang di Kapuas Hulu per Maret 2017, kemudian disertai dengan tindakan-tindakan “refresif” telah menjadi rujukan yang pelaksanaannya seakan tanpa pengecualian di lapangan. Kebijakan berikut tindakan lapangan aparat harus diakui telah melahirkan jarak antara negara dan rakyatnya sendiri.

Sebagai bangsa yang menyatakan diri telah merdeka, sudah semestinya negara merangkul segenap rakyatnya untuk mengisi kemerdekaan sesuai dengan peran masing-masing dan bukan malah membuat jarak dengan kebijakan dan tindakan yang melahirkan keresahan tanpa solusi yang mendamaikan.

Merawat Relasi
Kegiatan berladang yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat peladang selama ini penting dipahami sebagain bagian dari usaha untuk memperoleh sumber pangan sebagai hak asasi. Ini berarti bahwa, negara sejatinya memiliki kewajiban asasi sebagaimana amanah Undang-undang untuk memberikan jaminan pemenuhannya. Praktik berladang pada sisi lain juga memiliki relasi dengan keberadaan komunitas sebagai bagian dari pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Berladang pada sisi lain merupakan jalan untuk merawat nilai, ingatan maupun mempertahankan hidup dan kehidupan melalui usaha memperoleh pangan yang juga merupakan hak dasar tersebut. Tentu bukan sekedar mengusahakan pangan untuk memenuhi keperluan raga jasmani semata. Perjalanan panjang kegiatan berladang juga bagian penting dari siklus kehidupan yang melahirkan “peradaban” dan eksistensi suatu komunitas dengan kekhasannya. Dengan berladang, pesta padi sebagai ungkapan syukur padaNya, silaturahmi dan sukacita dirayakan.

Melalui ladang, pengetahuan tradisional, adat istiadat, nilai/norma, ingatan maupun harmoni itu terus dirawat dan dihidupi. Berladang juga tidak sesederhana yang ada dalam benak sejumlah pihak lebih cenderung menilainya sinis dan bahkan tidak sungkan menyatakan vonis sebagai biang petaka asap. Berladang menjadi bagian dari siklus kehidupan komunitas yang meyakini bahwa hutan, tanah dan air berikut sumberdaya lainnya tidak dapat terpisahkan.

Sebab itu, praktik warisan leluhur melalui ladang gilir balik yang dilakukan turun temurun sejatinya pula melukiskan bagaimana relasi antar sesama, relasi manusia dengan alam dan relasi manusia dengan Sang Pencipta itu terjadi. Pada sisi lain berladang gilir balik oleh komunitas sejatinya bukan seperti layaknya “ilmu menghitung” yang lantas semata memotret sisi ekonomis soal untung atau rugi. Praktik berladang sejatinya melampaui itu.

Dokumentasi WALHI Kalimantan Barat tahun 2016 atas praktik berladang yang dilakukan komunitas di Binua Sunge Samak, setidaknya mencerminkan kentalnya sikap bijak yang (seharusnya) mewarnai bagaimana berladang tersebut dilakukan.

Bukan Kejahatan
Adalah salah besar bila memahami praktik berladang yang dilakukan turun termurun oleh komunitas dari sisi luarnya semata; buka hutan/lahan, bakar dan timbullah asap. Ada sejumlah tahapan mewarnai praktik ladang gilir balik yang tidak terlepas dari adanya ritual adat dalam prosesnya. Pada sisi lain, tentu tidak tepat pula bila menyamaratakan bahwa setiap praktik membakar dan menimbulkan asap yang terjadi diseragamkan kemudian dianggap sebagai praktik yang sama sekali salah atasnama pencehagan kebakaran hutan dan lahan.

Praktik berladang turun termurun (dengan kearifan lokal) selama ini sejatinya penting dimaknai secara lebih waras dan benar. Ia bukan bentuk tindakan atau perbuatan terlarang yang lantas dianggap sebagai kejahatan. Demikian pula, pelaku ladang gilir balik bukan pula sebagai penjahat. Cara pandang yang lurus penting ada dalam menilai praktik berladang. Terlebih pada sisi konstitusi, negara sebagaimana pasal 69 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dengan tegas memberikan jaminan perlindungan atas praktik berladang.

Pada pasal tersebut menguraikan bahwa; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing”. Selanjutnya, pada bagian penjelasan dalam UU yang sama juga dengan mempertegas bahwa “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Jadi, tentu sangat jelas dan tegas bahwa negara melalui konstitusi memberikan perlindungan kepada petani terutama dalam hal ini praktik kegiatan berladang diwarnai dengan proses membakar sebagai sebuah metode untuk membersihkan lahan ladang. Tentu saja, sikap kehati-hatian melalui praktik kearifan lokal sebagaimana diwariskan leluhur sesuai dengan karakteristik masing-masing di komunitas penting dan mutlak kiranya mewarnai praktik kegiatan berladang. Dengan demikian, berladang dengan merdeka tanpa harus merasa takut mestinya dapat dirasakan.

Semoga kita semakin waras dalam memahami makna dan mewujudkan kemerdekaan bagi petani/peladang, bahwa merdeka itu adalah ketika berladang (dengan kearifan lokal) tidak dianggap kejahatan dan peladang tidak dianggap penjahat.

Karenanya, berladanglah dengan disertai kearifan lokal sebagaimana yang diwariskan leluhur dan negara harusnya memberi jaminan maupun perlindungan atas pelaksanaannya.

***PENULIS aktif di WALHI Kalimantan Barat sebagai Kadiv Kajian, Dokumentasi dan Kampanye. Peminat isu Lingkungan Hidup, Sosial Budaya, Masyarakat Adat, Demokrasi, Peace Building dan HAM.


Artikel ini terbit di Harian Suara Pemred, pada Minggu, 8 Oktober 2017

Selasa, 25 Oktober 2016

Berladang Vs Larangan Membakar

Warga di Desa Korek, Kecamatan Sungai Ambawang,
Kabupaten Kubu Raya tampak berjaga saat membantu melakukan
pembersihan ladang warga lainnya dengan cara bakar.
#byHendrikusAdam2016
Oleh Hendrikus Adam[1]

MEMBUKA ladang dengan cara membakar adalah perbuatan tidak bijaksana. Demikian kalimat pada plang berlogo Departemen Kehutanan yang diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Palung Seksi Konservasi Wilayah I Sukadana yang terpasang di jalan Siduk – Nanga Tayap penulis jumpai beberapa waktu lalu. Dari bahasa yang digunakan, kalimat ini tentu sangat menggelitik. Seolah membantah tentang kearifan lokal yang selama ini diyakini menyertai kegiatan berladang oleh masyarakat. Kalimat dimaksud juga bahkan terkesan menapik pengakuan UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup terkait dengan pengakuan tentang kearifan lokal mengelola lahan pertanian oleh warga dengan batasan tertentu.

Bila dicermati, sejumlah pesan bernada “sinis” terhadap kegiatan berladang selama ini juga tergambar dari sejumlah respon yang dilakukan secara langsung oleh aparatur di lapangan. Upaya sosialisasi larangan membakar, tindakan refresif dengan mendatangi dan bahkan menangkap petani hingga menjatuhkan bom air dengan gagahnya untuk memadamkan api saat peladang membersihkan ladangnya.

Tentu saja, tindakan aparat dengan situasi yang terjadi bukan secara tiba-tiba. Ada sejumlah pra kondisi sebelumnya, termasuk berkenaan dengan persoalan pemahaman tentang petaka asap, proses berladang dan konstitusi yang melindungi warga pengolah lahan pertanian dengan kearifannya belum sungguh dipahami lebih baik atau sedang “gagal faham”? Ataukah sejumlah pihak itu sudah memiliki pemahaman permanen tentang kegiatan berladang dengan cara bakar sebagai perbuatan tidak bijaksana sebagaimana papan plang buatan Balai Taman Nasional Gunung Palung? 

Kronik Asap hingga Larangan
Dokumen intruksi boleh bakar lahan
di perkebunan kelapa sawit PT. Bumi
Pratama Khatulistiwa (BPK) tahun 1997.
Pandangan sinis terhadap peladang dan kegiatan berladang setidaknya telah dimulai sejak peristiwa petaka asap kali pertama terjadi tahun 1997/1998 akibat kebakaran hutan/lahan yang terjadi seiring dengan mulai maupun telah maraknya pembukaan industri ekstraktif. Pada tahun itu, pihak Kementrian Lingkungan Hidup juga merilis sejumlah perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran pada konsesinya. Sementara di Kalimantan Barat, peristiwa kebakaran meluas yang terjadi turut ditandai dengan sanksi adat capa molot kepada Kadis Kehutanan karena menuduh peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan kabut asap. Pada sisi lain, tindakan sengaja perusahaan yang membersihkan lahan konsesinya dengan cara bakar pada tahun tersebut tidak memperoleh sanksi serius. Di Kalimantan Barat beberapa waktu terakhir bahkan satu dari empat perusahaan yang diproses terkait kasus kebakaran pada konsesinya malah dihentikan proses hukumnya (di SP3kan).

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang meluas selanjutnya disusul pada tahun-tahun berikutnya. Sekitar tahun 2005/2006, petaka asap hebat juga melanda Kalimantan Barat dan Indonesia pada umumnya. Kembali, pihak Kementrian Lingkungan Hidup bahkan merilis 579 konsesi perusahaan skala besar yang terindikasi melakukan pembersihan lahannya dengan cara bakar yang meliputi wilayah Sumatera dan Kalimantan. Di Kalimantan Barat pada tahun itu, dua perusahaan perkebunan kelapa sawit group Wilmar di Sambas yang terindikasi membersihkan lahannya dengan cara bakar sempat diproses hukum namun kandas saat disidangkan di PN Singkawang.

Selanjutnya, kebakaran pada sejumlah konsesi perkebunan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Namun demikian, perkembangan terhadap sejumlah kasus tersebut nyaris tanpa kabar. Puncak dari peristiwa petaka asap dan kebakaran meluas pada sejumlah konsesi perusahaan itu terjadi pada tahun 2015 lalu yang kemudian ditandai dengan penegasan komitmen Presiden Jokowi; Indonesia Bebas Asap. Situasi ini yang menjadi cikal lahirnya larangan membakar yang selanjutnya berdampak meluas, terutama larangan terhadap cara membakar yang dilakukan dalam berladang.

Di Kalimantan Barat, pihak kepolisian kemudian menerbitkan “Maklumat Kepolisian” tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan tanggal 7 Juli 2015 yang meminta seluruh warga masyarakat dan pihak manapun di Kalimantan Barat agar tidak melakukan pembakaran lahan, hutan dan kebun atau tindakan lain dengan tujuan apapun, baik sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menimbulkan terjadinya bahaya asap dan rusaknya lingkungan hidup serta gangguan kesehatan dan kegiatan masyarakat lainnya. Dalam maklumat tersebut juga termuat ancaman pidana 3 hingga 10 tahun dan denda 15 milyar rupiah. Sementara sanksi terhadap perusahaan pembakar lahan hingga kini masih belum ada.

Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 24 Oktober 2015, Presiden Jokowi baru menerbitkan Inpres 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang mengamanahkan untuk meningkatkan penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan lahan. Salah satu poin dari Inpres tersebut meminta agar para Gubernur dan Bupati/Walikota untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha pertanian yang tidak melaksanakan pengendalian kebakaran lahan yang menjadi tanggungjawabnya.

Bentuk usaha lainnya yakni adanya kampanye dalam bentuk pemasangan spanduk pada sejumlah titik tentang larangan melakukan pembakaran lahan dan hutan yang disertai dengan informasi ancaman pidana dan denda milyaran rupiah yang diterbitkan oleh TNI (Kodim 1207/BS). Selain itu juga adanya sosialisasi tentang Maklumat Kepolisian yang ditandatangani Kapolda Kalimantan Barat dan turut “diperbanyak” oleh sejumlah perusahaan perkebunan dengan memasangnya pada sejumlah areal konsesi juga kantor usahanya.

Ajakan untuk meninggalkan kegiatan berladang (dan menggantinya melalui pertanian modern) dengan argumentasi bahwa upaya berladang yang mulai berkurang membantu pemerintah menjaga kelestarian lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global turut ditegaskan Bapak Cornelis selaku Gubernur Kalimantan Barat saat membuka Pekan Gawai Dayak (PGD) XXXI tanggal 20 Mei 2016. Baru pada tanggal 13 Juli 2016, Maklumat Bersama tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun kemudian diterbitkan Forkompimda Kapuas Hulu. Larangan ini turut disertai dengan ancaman pidana dan denda milyaran rupiah bagi pelaku.

Sejumlah larangan yang disampaikan tentu sah saja bila hal tersebut sebagai bagian dari respon atas persoalan petaka asap meluas yang selama ini kerap terjadi. Namun demikian, sangat penting pula disertai dengan pemahaman yang baik mengenai sejarah maupun petaka asap itu sendiri, bagaimana proses berladang yang dilakukan komunitas dan perlindungan negara terhadap warganya yang mengelola pertanian dengan kearifan lokalnya. Hal ini sangat krusial agar tidak terjadi “sesat fikir” maupun tindakan salah kaprah di lapangan yang justru berpotensi merugikan masyarakat peladang sebagaimana yang terjadi belakangan ini.

Sangat penting pula mendudukkan akar persoalan petaka asap pada porsi yang benar agar semua pihak terutama aparatur negara tidak salah kaprah, baik dalam memahami, membuat maupun menerapkan aturan “larangan pembakaran” di lapangan. Menyamakan kegiatan membakar yang dilakukan dengan sadar disertai pengetahuan tradisional dan kearifan lokal oleh komunitas dengan pembakaran dan atau kebakaran pada sejumlah konsesi perusahaan (maupun sekitarnya) dengan skalanya yang luas dan itu terjadi digambut misalnya, tentu tidak relevan.

Bukan Kejahatan
Padi yang sedang tumbuh di ladang warga
Banuah, Desa Teluk Bakung, Kecamatan
Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.
Kegiatan berladang yang disertai dengan kearifan lokal selama ini sejatinya bukan perbuatan melawan hukum. Kegiatan pertanian turun termurun warisan leluhur komunitas itu bukan sebuah kejahatan. Undang-undang pasal 69 ayat 2 dengan tegas mengecualikan praktik yang disertai kearifan lokal itu sebagai perbuatan yang termasuk dilarang dalam hal membakar sebagai sebuah metode dalam membersihkan lahan pertanian. Pada pasal ini disebutkan bahwa; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh- sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing”. Selanjutnya pada bagian penjelasan juga dengan tegas disebutkan bahwa “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Bila memperhatikan amanah UU tentang kearifan lokal yang disebutkan, maka sesungguhnya praktik yang dimau tersebut jauh hari telah ada dan menyertai proses berladang yang selama ini dilakukan oleh masyarakat peladang. Dokumentasi yang dilakukan WALHI Kalimantan Barat terhadap kegiatan berladang pada Komunitas di Binua Sunge Samak, Kabupaten Kubu Raya misalnya mencatat lebih dari 20 tahapan berladang sebagaimana warisan leluhur komunitas yang harus dilewati. Tahapan dimaksud dimulai dengan bahaupm (musyawarah) hingga mipis banih ataugawe padi (gawai padi) sebagai ungkapan kegembiraan dan syukur komunitas atas hasil pertanian kepada Sang Pencipta.

Kegiatan berladang gilir balik yang dilakukan komunitas selama ini sejatinya juga tidak sekedar bagian dari usaha untuk mengusahakan (hak atas) pangan semata, namun juga bagian dari siklus kehidupan yang syarat dengan nilai, adat istiadat dan budaya. Melalui kegiatan berladang, tergambar adanya relasi baik yang terjalin; baik antar sesama, dengan alam, maupun relasi dengan Sang Pencipta itu sendiri. Jadi sangatlah jelas bahwa kegiatan berladang tidak sesederhana yang dibayangkan seperti mislanya; membuka lahan, bakar lalu keluar asap.

Salah Alamat
Baliho Maklumat Kepolisian tentang
Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun
yang dipasang pada salah satu perusahaan
perkebunan kelapa sawit. 
Langkah pihak yang menjatuhkan air untuk memadamkan api saat peladang membersihkan ladangnya dengan cara bakar melalui helikopter sewaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat sangat tidak tepat sasaran. Tindakan ini hemat penulis sebuah tindakan gegabah yang justru bertentangan dengan amanah konstitusi maupun apa yang dimau Presiden sebagaimana Inpres 11 tahun 2015 yang ditebitkan. Tindakan pelarangan membakar yang tidak disertai dengan pemahaman yang mumpuni oleh aparatur atas apa yang boleh dan tidak tanpa menyandingkannya dengan kearifan lokal komunitas malah akan menambah persoalan serius bagi masyarakat. Hal ini pula secara etika komunitas sesungguhnya tidak dibenarkan.

Tindakan pemadaman ladang yang sedang dibersihkan dengan cara bakar oleh pemiliknya tersebut tidak lebih dari hanya sekedar “menghambur-hamburkan uang”. Bila sekali terbang saja misalnya menghabiskan biaya sekitar 400an juta sebagaimana pengalaman tahun 2015 lalu, maka dapat dibayangkan bila helikopter tersebut terbang berkali-kali atau hingga ratusan kali dalam beberapa waktu terakhir.

Pada sisi lain, situasi ini juga sangat ironis; disaat upaya pemerintah untuk mendorong ketahanan pangan sedang dilakukan, namun pada saat bersamaan upaya “penghentian” kegiatan berladang untuk mengusahakan pangan sendiri oleh komunitas malah terjadi. Demikian pula tindakan refresif di lapangan yang dilakukan oleh aparatur negara yang “memburu” masyarakat peladang seolah telah melakukan sebuah kejahatan sedianya tidak terus dilakukan esok dan seterusnya.

Salut untuk Komunitas
Sudah semestinya negara hadir dan memberi perlindungan di tengah situasi warganya yang sedang berjuang untuk memenuhi hak asasinya atas pangan. Sudah semestinya pula, negara melalui aparaturnya memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang persoalan petaka asap, proses berladang oleh komunitas hingga perlindungan negara terhadap warganya dengan kearifannya sebagaimana turut diamanahkan konstitusi.

Tindakan salah alamat memadamkan ladang warga serampangan harus dipastikan tidak diulang kembali. Demikian pula pembiayaan helikopter pemadam kebakaran yang digunakan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat dan atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memadamkan ladang penting diketahui, diaudit dan disampaikan secara terbuka kepada masyarakat luas. Penting pula permohonan maaf secara terbuka oleh negara melalui pihak terkait disampaikan kepada masyarakat peladang yang telah menjadi korban hingga harus merasa trauma, sedih, marah maupun kecewa.

Tentu saja kepada masyarakat peladang, terlebih bagi mereka yang menjadi korban bom air maupun yang menjadi korban kriminalisasi karena berladang, penulis menyampaikan hormat dan salut atas kesabaran Anda semua yang tidak gegabah (seperti mereka) dalam bertindak. Tentu saja aturan (adat) di komunitas dapat saja berlaku dalam menyikapi situasi yang dihadapi warganya saat ini. Namun demikian, hal tersebut berpulang pada kemauan kuat warga sekitar dan atau komunitas yang menjadi korban untuk bertindak atas langkah serampangan pemadaman “salah alamat” itu.

Tetaplah berladang sesuai pengetahuan tradisonal dan kebijaksanaan turun temurun yang diwariskan leluhur. Berladang dengan kearifan lokal sejatinya bukan kejahatan, namun jalan kehidupan yang sedianya terus dihidupi dengan disertai semangat, keyakinan, solidaritas dan kerja keras.

Melarang berladang berarti membiarkan warga untuk kelaparan dan tersingkir dari adat, bahasa ibu, pengetahuan tradisional maupun tanah tumpah darahnya. Sedangkan daya respon warga atas larangan membakar dan bom air yang ditumpahkan saat membersihkan ladang, akan sangat menentukan persepsi publik mengenai sejauhmana kegiatan berladang sebagai suatu yang sangat penting bagi komunitas saat ini?





[1] Penulis aktif di WALHI Kalimantan Barat. Peminat isu Lingkungan Hidup, Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia, Demokrasi, sosial budaya dan Perdamaian.


ARTIKEL ini sebelumnya telah terbit di Harian Kapuas Post pada Minggu, 16 Oktober 2016.

Dilema Berladang di Tengah Larangan Membakar

Seorang anak di kampung Lingga Dalam, Desa Lingga,
Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
sedang menyemai benih padi di ladang
#HendrikusAdam2016


Oleh Hendrikus Adam[1]

SEKITAR tanggal 7 September 2016 lalu, peristiwa miris dialami peladang di kampung Bawas, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang. Helikopter yang membawa kantong air kala itu tiba-tiba datang dan menjatuhkan air persis di ladang ketika api baru mulai menyala sekitar 15 menit. Hasilnya, ladang milik Enda yang baru akan dibersihkan dengan cara bakar kala itu lantas padam.

Kejadian serupa juga dialami Lina dan dua warga lainnya di kampung Lingga Dalam, Desa Lingga, Kecamatan Sungai Ambawang empat hari sebelumnya. Masih banyak peladang yang kemudian menjadi “korban” atas kebijakan yang tidak populis atas kegiatan pertanian turun temurun warga yang disertai dengan kearifan lokalnya tersebut.

Dampak langsung dari peristiwa tersebut melahirkan jejak berupa rasa kecewa, kesal, marah dan bahkan trauma. Sejumlah warga yang menjadi korban atas kejadian tersebut mengaku “manas tak berlawan” atas situasi yang dialami. Di tempat terpisah, bahkan ada di antara warga yang berani mengacungkan parang pasca lahan pertaniannya disiram air rekayasa via helikopter yang didatangkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar tersebut sebagaimana kisah Arif Munandar, Kru Helikopter beberapa waktu lalu (26/9).

Kehadiran helikopter yang lantas memadamkan api di ladang saat warga membersihkan lahan ladangnya dengan cara bakar menjadi unik dan berkesan. Berkesan dan unik sebagai suatu tindakan yang tidak memihak pada kepentingan warga yang kali ini dilakukan. Bahkan ketika helikopter patroli sedang melakukan aksinya pada Agustus hingga September 2016 lalu, muncul istilah baru di komunitas yakni “Musim Helikopter Memadamkan (paksa) Ladang Warga”.  

Salah Alamat
Rasa resah, kecewa dan bahkan marah yang dialami peladang atas ulah pemadaman serampangan melalui bom air mengisyaratkan adanya persoalan serius di lapangan. Kebijakan larangan membakar yang ditabuh pemerintah seperti Maklumat Kepolisian, Intruksi Presiden (Inpres) 11 Tahun 2015, spanduk larangan membakar oleh TNI hingga ajakan meninggalkan ladang oleh Pemda Kalbar telah memantik lahirnya tindakan meresahkan. Bahkan pada sejumlah kasus, aparatur di lapangan tidak segan untuk “menciduk” warga yang membersihkan ladangnya dengan cara dibakar.

Hal yang paling menggelitik adalah pesan papan plang berlogo Kementrian Kehutanan RI yang diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Palung Seksi Wilayah I Sukadana yang menyebutkan; “Membuka Ladang dengan Cara Membakar adalah Perbuatan tidak bijaksana”. Kalimat ini jelas mengesankan pengabaian sisi kearifan lokal dalam praktik berladang selama ini. Bila pemahaman tersebut membumi dalam benak setiap isi kepala aparatur penyelenggara negara, maka sangat berpotensi melahirkan persoalan lapangan berkepenjangan.

Usaha untuk menghentikan petaka asap akibat kebakaran meluas selama ini memang perlu langkah nyata sebagai ekspresi tanggungjawab negara. Namun demikian, tidak lantas mentolerir tindakan-tindakan serampangan yang menjurus pada tindakan refresif terhadap peladang yang mengusahakan (hak atas) pangannya sendiri.

Kebijakan bom air untuk memadamkan ladang, hemat penulis jelas tidak tepat atau salah alamat. Kebijakan salah sasaran ini justru mubajir dan terkesan menghamburkan sumberdaya untuk kepentingan jangka pendek. Selain secara etika komunitas tindakan tersebut tidak dibenarkan karena mengganggu usaha untuk keberlanjutan hidup yang menjadi bagian dari pekerjaan warga. Hal ini juga telah mengabaikan amanah undang-undang terhadap kearifan lokal dalam kegiatan berladang yang mestinya mendapat perhatian untuk mendapat perlindungan.

Praktik aparatur di lapangan yang digambarkan di atas mengkonfirmasi adanya fenomena “gagal paham” terhadap; kegiatan berladang dengan kearifan lokalnya, aturan perundang-undangan yang memberi perlindungan, hingga persoalan seputar petaka asap akibat kebakaran meluas selama ini. Akibatnya, kebijakan larangan membakar dan tindakan bom air justru berpotensi dan bahkan telah melahirkan “ketidakpercayaan” warga terhadap negara beserta aparaturnya. Karenanya, tindakan tidak populis tersebut menjadi sangat mendesak untuk dievaluasi serius pelaksanaannya dan khusus untuk bom air ladang hendaknya dihentikan.

Bukan Kejahatan
Kegiatan berladang yang disertai dengan kearifan lokal selama ini sejatinya bukan perbuatan terlarang. Bukan pula sebuah kejahatan. Hal ini misalnya telah dipertegas sebagaimana dimuat dalam Pasal 69 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Pasal dimaksud menyebutkan bahwa; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing”. Lebih lanjut, pada bagian penjelasan dalam UU yang sama juga dengan tegas disebutkan bahwa “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Dengan demikian, konstitusi dengan tegas memberi pengecualian terhadap praktik kegiatan berladang sebagai perbuatan yang termasuk dilarang dalam hal membakar sebagai sebuah metode dalam membersihkan ladang. Pada sisi lain, sikap kehati-hatian mengelola lahan pertanian melalui kegiatan berladang sebagaimana yang dimau dalam UU tersebut sejak lama telah ada dan menyertai proses pertanian turun temurun komunitas ini. Dokumentasi yang dilakukan WALHI Kalbar terhadap kegiatan berladang pada Komunitas di Binua Sunge Samak, di Kabupaten Kubu Raya misalnya mencatat lebih dari 20 tahapan berladang sebagaimana warisan leluhur komunitas.

Merawat Pengetahuan dan Relasi 
Berladang gilir balik penting dipahami tidak ansih tentang pemenuhan pangan yang menjadi hak asasi warga semata. Namun, juga bagian dari siklus kehidupan. Dengan berladang yang masih dilakukan, warga di komunitas merawat pengetahuan tradisional dan ingatannya terkait dengan nilai, adat istiadat dan budaya. Dengan berladang, komunitas merawat relasi yang mengekspresikan adanya jalinan harmoni; baik antar sesama, dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Pencipta itu sendiri. Karenanya, kegiatan berladang sejatinya tidak sesederhana yang dibayangkan. Sangat kompleks.

Dilema yang dihadapi peladang semestinya dapat diakhiri bila ada itikad baik, terutama aparatur negara untuk mau memastikan kehadirannya dalam melindungi, mengayomi dan melayani. Pada sisi lain, masyarakat peladang penting untuk sungguh memastikan agar kegiatan pertanian turun temurun yang dilakukan mutlak sesuai pengetahuan tradisonal dan kearifan lokal yang diwariskan leluhur selama ini.

Melarang berladang berarti membiarkan warga untuk kelaparan dan tersingkir dari adat istiadat pertanian turun temurun, bahasa ibu, pengetahuan tradisional maupun tanah tumpah darahnya. Demikian pula ketidakberpihakan kebijakan pada kepentingan peladang hanya akan melahirkan deretan rasa kecewa dan sakit hati rakyat kepada pemerintahnya sendiri. Semoga badai bagi masyarakat peladang yang sekaligus warga negara segera berlalu dan tidak hadir esok dan seterusnya.



[1]Penulis aktif di WALHI Kalimantan Barat. Peminat isu Lingkungan Hidup, Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia, Sosial Budaya dan Perdamaian.


ARTIKEL ini sebelumnya terbit di Harian Pontianak Post edisi cetak pada 6 Oktober 2016 halaman 2.